Catat! Indonesia Tidak Serta-merta Jadi Negara Maju.
Seperti diketahui, Amerika Serikat (AS) memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD).
Dalam hal ini, negara berkembang versi AS, berhak mendapatkan keistimewaan penghentian penyelidikan antisubsidi jika jumlah subsidi terhadap barang yang dijual ke AS kurang dari 2 persen atas nilai barang yang ditransaksikan.
Namun, berdasarkan kriteria baru, United States Trade Representatives (USTR) mengeluarkan 15 negara berkembang—di antaranya Indonesia, Argentina, Brasil, Thailand, dan India—dari pengecualian tersebut.
Indonesia dikeluarkan dari pengecualian itu karena keanggotaannya dalam G-20 dan memiliki kontribusi lebih dari 0,5 persen perdagangan dunia.
Akan tetapi, dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara maju secara utuh layaknya negara-negara maju lain.
Pasalnya, banyak pihak yang beranggapan, dengan kebijakan baru AS, Indonesia kini menjadi negara maju. Bahkan, ada juga yang bilang hal tersebut merupakan sebuah prestasi, padahal tidak demikian.
Sebab klaim 'negara maju' tersebut hanya berlaku di mata AS. dalam hal penyelidikan antisubsidi, di mana Indonesia masuk dalam beberapa indikator penilaian AS, seperti tergabung dalam G-20 dan memiliki kontribusi perdagangan dunia mencapai 0,9 persen.
Sementara itu batasan pendapatan negara maju atau upper-middle income yang digunakan USTR tetap mengacu ketentuan Bank Dunia yaitu sebesar US$12.375 per kapita. Sementara itu, pada 2019 lalu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$4.174. DI sisi lain pada 2018, Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita Indonesia berada di angka US$3.840.
Sekali lagi, dikeluarkannya Indonesia dari list negara berkembang tidak berarti Indonesia kini ‘naik status’ menjadi negara maju secara sepenuhnya.