Bisnis.com, JAKARTA – Akhir pekan lalu Amerika Serikat melalui US Trade Representative (USTR) mengeluarkan kebijakan untuk menghapus 25 negara berkembang yang tersebar dari benua Asia, Eropa, Amerika dan Afrika dalam daftar penerima fasilitas tarif bea masuk. Isu ini menjadi heboh karena AS dianggap telah menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Benarkah?
Langkah USTR tadi bisa jadi merupakan tindak lanjut dari serangan Presiden AS Donald Trump yang dilontarkan dalam World Economic Forum di Davos, Swiss, 21 Januari lalu. Saat itu secara tegas Trump menyatakan antipati kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang selama ini dianggap menjadi kendaraan China menyusul perlakuan tidak adilnya dalam penentuan tarif terhadap AS selama bertahun-tahun.
Sebelumnya dia juga menuduh badan banding WTO telah bersikap sepihak dengan tidak meloloskan keberatan AS. Menurut Trump, kebijakan WTO inilah yang membuat perekonomian China bisa menggurita menjadi seperti sekarang.
Dalam perkembangannya, protes Trump terhadap China meluas dan menyasar negara berkembang lain. Negara di luar China itu meliputi Albania, Argentina, Armenia, Brasil, Bulgaria, Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Indonesia, Kazakhstan, Republik Kirgistan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
Di Indonesia, isu ini menjadi heboh karena AS dianggap telah menyoret status Indonesia sebagai negara berkembang dan menetapkannya di kelompok negara maju. Setelah keterangan USTR ini, sontak banyak pihak yang bersorak sekaligus heran dengan pengumuman AS ini.
Begitu pula banyak media yang mempertanyakan apakah Indonesia memang sudah keluar sebagai negara berkembang dan layak masuk sebagai negara maju? Yang menjadi persoalan mendasar, apakah memang demikian yang terjadi?
Perluasan Prasyarat
Sejatinya apa yang terjadi atas kebijakan anyar USTR ini, Pemerintah AS telah merevisi metodologi penentuan negara yang berhak mendapat fasilitas bea masuk impor de minimis 2%. AS kini tidak lagi menggunakan besaran Gross National Income (GNI) per kapita negara berkembang dan batasan kontribusi perdagangan dunia bagi negara-negara yang berhak mendapatkan pembebasan tersebut.
USTR menilai pedoman negara yang memiliki GNI per kapita di bawah batasan negara maju sebagai negara yang berhak mendapat de minimis 2%, dianggap telah usang. Kali ini AS menambahkan beberapa ketentuan lain.
Pertama, memperkecil besaran kontribusi negara berkembang terhadap perdagangan dunia di atas 0,5% dari sebelumnya di atas 2%. Kedua, keanggotaan atau rencana keanggotaan negara berkembang di Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Ketiga, keanggotaan di G-20, keanggotaan atau rencana keanggotaan di Uni Eropa, dan keempat, pendaftaran sebagai negara berkembang di WTO.
Adapun batasan pendapatan negara maju atau upper-middle income yang digunakan USTR tetap mengacu ketentuan Bank Dunia yaitu sebesar US$12.375 per kapita. Apabila GNI per kapita negara berkembang melampaui US$12.375 maka negara tersebut sudah masuk sebagai negara maju dan tidak lagi berhak atas fasilitas de minimis threshold 2%.
Sebagai informasi, Bank Dunia mengklasifikasikan negara di dunia dalam empat kelompok berdasarkan pendapatan. Pertama, negara berpenghasilan tinggi atau negara maju. Kedua, negara berpendapatan menengah ke atas. Ketiga, negara berpenghasilan menengah bawah. Keempat, negara dengan pendapatan rendah.
Secara spesifik pendapatan yang menjadi acuan Bank Dunia yaitu GNI atau pendapatan nasional kotor per kapita. GNI per kapita adalah nilai dolar dari pendapatan akhir suatu negara dalam setahun dibagi dengan populasi.
Klasifikasi Negara Berdasarkan Pendapatan Menurut Bank Dunia | ||
---|---|---|
Threshold | GNI Per Kapita (Juli 2019) | GNI Per Kapita (Juli 2018) |
Low income | < 1,026 | < 996 |
Lower-middle income | 1,026 - 3,995 | 996 - 3,895 |
Upper-middle income | 3,996 - 12,375 | 3,896 - 12,055 |
High income | > 12,375 | > 12,055 |
Bila menelaah lebih lanjut keterangan resmi dalam Federal Register/Vol. 85, No. 27 tertanggal 10 Februari 2020, USTR secara eksplisit bukanlah menyoret 25 negara negara berkembang dan menempatkannya sebagai negara maju. Akan tetapi, USTR mengeluarkan daftar 25 negara berkembang itu sebagai penerima fasilitas pembebasan bea masuk de minimis 2%.
Mulai Investigasi
Secara umum, USTR mengungkapkan alasan mengapa AS mengeluarkan daftar 25 negara berkembang sebagai penerima de minimis 2% yang bertujuan untuk menyesuaikan keadaan faktual saat ini. Penghapusan ini juga dinilai akan membuat AS lebih mudah untuk memulai investigasi apakah 25 negara tersebut telah secara tidak adil menyubsidi ekspor mereka. Suatu tuduhan yang kerap dilontarkan AS mengingat defisit neraca perdagangan yang selama ini terjadi.
Uniknya, keterangan USTR ini tidak mengungkapkan pertimbangan mengeluarkan China dari daftar internalnya. USTR hanya menyebutkan poin-poin prasyarat baru siapa saja yang berhak atas de minimis 2%. Kedati demikian, dari tambahan ketentuan baru ini dapat diketahui secara langsung apakah China masuk sebagai penerima.
Jawabnya jelas tidak. Negeri Panda ini tidak sekadar melampaui batas kontribusi perdagangan dunia. China bahkan telah mewujud sebagai rival terberat AS.
Betapa tidak. Perekonomian China saat ini adalah yang terbesar di dunia yang mampu menghasilkan angka produk domestik bruto sebesar US$25,3 triliun pada 2018. Menurut data Dana Moneter Internasional, posisi Uni Eropa dalam tahun itu berada di urutan kedua dengan US$22 triliun dan AS sendiri berada di urutan ketiga dengan US$20,5 triliun.
Dengan jumlah penduduk 1,39 miliar jiwa China memungkinkan para pebisnisnya membayar upah pekerja lebih rendah daripada pekerja AS sekaligus memikat pabrikan luar negeri untuk melakukan outsourcing pekerjaan ke China. Setelah itu, China dapat mengirimkan barang jadinya ke AS, negara yang merupakan mitra dagang terbesarnya.
Alhasil pada 2018, China mampu mengirimkan 18% total ekspornya ke AS dan memberikan sumbangan defisit perdagangan pada Negara Paman Sam hingga US$419 miliar.
Selain itu, China juga otomatis keluar dari daftar penerima de minimis 2% karena negara ini merupakan anggota G-20. Kendati bukan anggota OECD, China saat ini menjadi salah satu negara key partner OECD bersama dengan Brasil, India, Afrika Selatan dan Indonesia.
Indonesia Negara Maju?
Nah, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Apakah benar AS telah mengubah status Tanah Air dari negara berkembang menjadi negara maju?
Fakta dari keterangan USTR ini, sebenarnya sangat jelas AS tidak menyatakan Indonesia telah masuk sebagai negara maju. Secara khusus USTR hanya menyebut tiga negara yang sudah layak sebagai negara maju yaitu Hong Kong, Korea Selatan dan Singapura. Pasalnya, ketiga negara itu memiliki GNI per kapita di atas US$12.375 dan juga masing-masing negara tersebut telah memberikan kontribusi besar terhadap perdagangan dunia, yaitu di atas 2%.
Penjelasannya USTR ini kemudian membandingkan dengan Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam di mana masing-masing negara memiliki kontribusi signifikan di atas 0,5% terhadap perdagangan dunia. Jadi, apabila kontribusi di atas 0,5% saja sudah dianggap signifikan apalagi dengan Hong Kong, Korea Selatan dan Singapura.
“USTR kini mempertimbangkan kontribusi perdagangan dunia di atas 0,5% sebagai indikator yang signifikan, tidak lagi 2% seperti aturan USTR sebelumnya tahun 1998,” tulis keterangan Kantor Perwakilan Dagang AS tersebut.
Selain itu, dalam konsiderannya USTR juga mengacu klasifikasi negara terkini Bank Dunia 2019-2020 berdasarkan GNI per kapita. Hong Kong, Korea Selatan dan Singapura sudah masuk sebagai negara maju atau negara dengan upper-middle income di atas US$12.375 per kapita.
Kembali ke persoalan Indonesia. Apakah negara ini sudah layak mendapat status negara maju? Untuk menjawab itu, cukup dilihat dari sisi peringkat GNI per kapita tahun 2018 versi Bank Dunia yang menjadi rujukan USTR atas aturan baru de minimis 2%.
Indonesia sendiri berada di peringkat 120 dari 190 negara yang diperingkat. Mungkin ini dapat menjawab apakah memang benar AS begitu naif dan gegabah sehingga dengan mudahnya mengubah status Indonesia menjadi negara maju. Atau telah terjadi kesalahan atas interpretasi keterangan USTR?
Di luar keterangan USTR tentang de minimis. Agaknya penting membuka kembali report Bank Dunia Juni 2019, saat lembaga multilateral itu jauh sebelumnya menyarankan Indonesia untuk mewujudkan sistem perlindungan sosial yang efisien. Langkah ini dinilai penting untuk mencapai target menjadi negara maju yang bisa terwujud pada 2045.
Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah masalah kemiskinan. Langkah ini dinilai penting untuk menjadikan Indonesia negara besar kelima di dunia melalui penguatkan sumber daya manusia, infrastruktur, dan kekuatan perekonomi yang andal.
TIM RISET BISNIS INDONESIA
Bisnis Indonesia Resources Center