Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR RI diminta untuk saling bersinergi agar tak ada yang tumpang tindih pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja sektor pertambangan dengan revisi atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan terdapat sejumlah irisan dan kesamaan antara isi ketentuan tentang kegiatan usaha pertambangan di RUU Cipta Kerja dengan RUU Minerba yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Omnibus Law, lanjutnya, bertujuan untuk menjawab persoalan tumpang tindih pengaturan dan memberikan kemudahan investasi untuk menciptakan lapangan kerja termasuk di sektor pertambangan mineral dan batubara.
Dalam Omnibus Law terdapat sejumlah ketentuan kegiatan usaha pertambangan minerba diantaranya tentang perizinan usaha pertambangan, insentif hilirisasi pertambangan, dan keberlanjutan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK).
Dia menilai materi Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak seideal dengan apa yang dicita-citakan.
Selain itu, proses penyusunan RUU Cipta Kerja berjalan tidak transparan dan tertutup dari partisipasi publik, kita mendesak saat proses pembahasan di DPR dapat berjalan dengan transparan dan melibatkan partisipasi publik.
"Isi materi Omnibus Law tidak seideal dengan apa yang dicitakan, di sektor pertambangan hampir semua isi materi RUU Cipta Kerja merupakan isi RUU Minerba yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah," ujarnya, Selasa (25/2/2020).
Adanya irisan dan kesamaan antara RUU Cipta Kerja dengan RUU Minerba, lanjutnya, akan menimbulkan problem tersendiri terutama bagi pasal-pasal yang secara bersamaan diatur dalam kedua RUU tersebut. Dia menilai hal ini terkesan pembahasan RUU ini hanya untuk kepentingan pihak tertentu.
Meskipun pemerintah telah berulang kali menyatakan bahwa RUU Omnibus Law merupakan RUU prioritas sehingga seluruh pembahasan RUU yang terkait dengan Omnibus Law mestinya ditunda dan disesuaikan dengan Omnibus Law, namun pada kenyataannya pembahasan RUU Minerba di DPR hingga saat ini terus berlanjut.
Padahal, apabila substansi pengaturan pertambangan sudah masuk dalam RUU Minerba, maka tak perlu lagi dimasukkan dalam Omnibus Law.
"Dalam konteks ini telah terjadi adu cepat dan potensi salip menyalip antara RUU Minerba dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, hal ini malah justru tidak baik bagi kegiatan usaha pertambangan dan jaminan kepastian hukum, pertanyaannya adu cepat ini untuk siapa?" kata Bisman.
Untuk itu, pihaknya menekankan tentang perlunya publik dan masyarakat luas untuk mengawal dan menaruh perhatian terhadap jalannya pembahasan kedua RUU baik RUU Minerba maupun Omnibus Law.
Publik harus melakukan pemantauan untuk memastikan secara formil semua proses pembahasan dilakukan dengan transparan, melibatkan partisipasi publik dan sesuai dengan tahapan proses pembahasan yang benar.
Selain itu secara materiil memastikan bahwa isi substansi pengaturan benar-benar untuk kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Harapannya, dengan adanya atensi publik terhadap kedua RUU ini, DPR dan Pemerintah dapat menghasilkan undang-undang terbaik yang bisa menjawab kebutuhan kegiatan usaha pertambangan," tutur Bisman.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah berpendapat sejumlah perizinan akan terdampak dengan adanya RUU Omnibus Law ini, termasuk di dalamnya sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Pasalnya, ditariknya kewenangan pemberian izin, pembinaaan dan pengawasan ke Pusat. Selain itu, penguatan konsep wilayah pertambangan, pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang, dan perubahan KK dan PKP2B menjadi IUPK dalam rangka kelanjutan operasi.
"Sejak awal, publik kesulitan untuk mendapatkan draft NA maupun draft RUU Cipta Kerja dari pihak Pemerintah. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan terutama Pasal 89 jo 96 telah mengatur kewajiban Pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat," terangnya.
Meskipun saat ini NA dan draft RUU Omnibus Law sudah di-publish diwebsite Pemerintah pasca diserahkannya dokumen tersebut ke DPR, justru momentum krusialnya pada saat penyusunan dan pembahasan di tingkat Pemerintah.
"Keran aspirasi mesti dibuka seluas-luasnya," ujarnya.
Oleh karena itu, dia menilai agar Omnibus Law perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan secara luas dan berbagai pemangku kepentingan.
Hal tersebut sangat penting sebagai bentuk assesment atas dampak regulasi (regulatory impact assesment) yang semestinya dikedepankan dalam proses pembuatan kebijakan berupa regulasi.
"Ini penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan, serta untuk melakukan pencegahan resiko dampak dengan parameter penilaian yang mendalam dan partisipatif," tutur Maryati