Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Replanting Sawit Terhambat, Bahan Baku Biodiesel Diklaim Aman

Pasokan bahan baku untuk industri biodiesel diperkirakan aman kendati proses replanting perkebunan sawit masih terhambat.
Ilustrasi biodiesel/Reuters
Ilustrasi biodiesel/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA -  Pelaku usaha industri biodisel meyakini tidak akan ada masalah terkait ketersediaan bahan baku, kendati proses  peremajaan perkebunan sawit terhambat. 

Adapun, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat kebutuhan sawit sebagai bahan bakar nabati (BBN) berbasis sawit akan tumbuh eksponensial hingga 2025, sementara usaha peremajaan pohon sawit (replanting) masih terkendala. 

Ketua Umum Aprobi M.P. Tumanggor Asosiasi Produsen Biodisel (Aprobi) menyatakan perkebunan sawit nasional tetap akan mencatatkan pertumbuhan positif tiap tahunnya. Dia menyatakan ketersediaan bahan baku untuk program B40 juga akan tercukupi lantaran produksi sawit naik sekitar 14 28 persen menjadi sekitar 48 juta ton pada 2021 dari realisasi akhir tahun lalu sekitar 42 juta ton.

"Kalaupun tanpa replanting, ada peningkatan terus dengan kebun-kebun sekarang. Jadi, tidak ada kendala soal bahan baku sampai 2025," katanya kepada Bisnis, Selasa (25/2/2020).

Tumanggor mengatakan pihaknya juga sudah menghitung pertumbuhan dari industri hilir minyak sawit lainnya seperti oleokimia, minyak makan, dan olahan minyak sawit lainnya. Menurutnya, pertumbuhan produksi sawit per tahun sudah sesuai dengan pertumbuhan produksi di industri hilir minyak sawit.

BPDPKS menhitung kebutuhan sawit untuk BBN berbasis sawit akan naik 157,26 persen menjadi 24,44 juta ton pada 2025 dari kebutuhan tahun ini sebanyak 9,5 juta ton. Adapun, lahan prioritas BBN sawit akan tumbuh 198,11 persen menjadi 3,16 juta hektare.

Adapun, produksi biodisel pada tahun ini tumbuh sekitar 50 persen menjadi sekitar 9 juta kiloliter, sedangkan BPDPKS menyatakan kebutuhan BBN sawit pada tahun ini mencapai 11,9 juta kiloliter. Angka tersebut akan tumbuh 105,88 persen menjadi 24,5 juta kiloliter pada 2025.

Namun demikian, Tumanggor tetap optimistis ketersediaan bahan baku bagi industri biodisel akan terjaga hingga 2025. Menurutnya, kebutuhan BBN sawit, khususnya biodisel, secara berangsur akan melambat dan mencapai titik equilibrium baru saat peredaran mobil listrik ramai digunakan.

"Sebentar lagi [konsumen[ mulai menggunakan mobil listrik. Jadi, kami juga harus memperkirakan 4-5 tahun ke depan, kalau separuh [masyarakat] pakai mobil listrik bagaimana?" ujarnya.

Di sisi lain, Tumanggor menyampaikan penggunaan B40 akan mulai diuji di jalan pada akhir kuartal I/2020. Dengan kata lain, ujarnya, pabrikan biodisel akan mulai menyesuaikan permesinan terhadap hasil uji secepatnya pada medio kuartal III/2020.

Tumenggor saat ini meramalkan produksi B40 akan diuji dengan bahan baku fatty acid methyl ether (FAME) murni atau dengan campuran FAME yang terdestilasi. Sementara itu, Tumanggor menilai produksi B50 akan menggunakan hasil produksi CPO dengan kualitas yang lebih tinggi melainkan FAME.

"B40 akan dijalankan Juli 2021 biar ada waktu untuk semua [pabrikan] membangun [fasilitas produksi] atau menambah pabrik dengan model destilasi. Kalau hasil Agustus [2020] cukup dengan FAME, [pabrikan] tak perlu perbaikan," ucapnya.

Terpisah, Plt Direktur Kemitraan BPDPKS Muhammad Ferian mengatakan pihaknya telah diinstruksikan untuk melakukan replanting kebun sawit seluas 500.000 hektare hingga 2022. Adapun, lanjutnya, pada tahun ini BPDPKS menargetkan luasan kebun replanting seluas180.000 hektare.

Ferian menekankan keberhasilan program replanting bukan kelancaran pemberian dana replanting senilai Rp25 juta per hektar pada petani, namun berada pada desain program kementerian terkait. "Jangan selalu ditanya berhasil tidaknya diukur dari duitnya cukup atau tidak," katanya.

Ferian menyampaikan selama 2015-2019 pihaknya telah melakukan replanting dengan totalluas 80.000 hektare dan mengucurkan dana senilai Rp2 triliun. Sementara itu, hingga akhir tahun lalu, BPDPKS mencatat total pungutan ekspor produk sawit senilai Rp47,23 triliun dengan realisasi penyalusan Rp33,6 triliun.

Ferian berujar program tersebut sempat bermasalah lantaran harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO anjlok pada 2015 karena oversupply. Di sisi lain, variasi harga CPO pada 2015 mencapai US$900 per ton.

Ferian menyampaikan salah satu alasan berdirinya BPDPKS adalah untuk menyelamatkan serapan CPO pada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, BPDPKS kala itu dirancang sebagai lembaga yang akan menopang industri biodisel agar industri biodisel dapat menyerap CPO di dalam negeri.

"Kita tahu minyak goreng tidak bertambah dari dulu [kapasitas produksinya]. Jadi, program yang bisa menyerap [CPO] dalam jumlah masif [saat itu dipilih biodisel]," ucapnya.

Ferian menyatakan pemilihan biodisel tersebut juga didasari oleh kesiapan regulasi dan sektor swastas yang cukup tinggi. Adapun saat ini variasi harga CPO kini turun menjadi stabil.

"Sekarang tidak bisa dikatakan [industri] biodisel menyelamatkan, tapu hanya [menjadi] penyangga. Tadinya US$900 per ton sekarang turin-naiknya cuma US$400 per ton," ujarnya.

Alhasil, Ferian mengatakan pihaknya memanfaatkan dana insentif bagi industri biodisel untuk keperluan replanting.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper