Bisnis.com, JAKARTA-Penurunan defisit transaksi berjalan pada 2019 bisa menjadi tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020.
Mengacu pada data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan Indonesia menyempit jadi US$30,4 miliar atau setara dengan 2,72 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan capaian 2018 sebesar US$30,6 miliar atau 2,94 persen dari PDB.
"Ketika defisit transaksi berjalan berkurang, kinerja impor pasti ikut turun. Dampaknya jika impor turun akan membuat perekonomian melambat. Ini yang harus diwaspadai pemerintah," kata
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, Senin (10/2/2020).
Empat elemen pembentuk defisit transaksi berjalan sepanjang menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pertama, neraca perdagangan barang sepanjang 2019 surplus sebesar US$3,5 miliar dimana surplus neraca perdagangan nonmigas US$13.8 miliar dan neraca perdagangan migas mencatatkan defisit US$10,3 miliar. Kedua, defisit neraca perdagangan jasa meningkat jadi US$7,8 miliar dari tahun sebelumnya US$6,5 miliar (yoy).
Ketiga, defisit neraca pendapatan primer meningkat dari US$30,8 miliar pada 2018 menjadi US$33,8 miliar pada 2019. Terakhir, neraca pendapatans sekunder mengalami surplus sebesar US$7,6 miliar atau lebih tinggi dibandingkan US$6,9 miliar.
Lana menilai pemasukan dari neraca pendapatan primer tidak bisa dikontrol pemerintah karena sebagian besar berasal dari investasi dan dana asing yang memiliki surat berharga nasional (SBN). Sementara itu, kinerja ekspor impor dan jasa-jasa melambat karena faktor ketidakpastian perekonomian dunia.
Apalagi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor tahun lalu mengalami penurunan -0,87 persen. Sementara itu, impor pada 2019 terkoreksi lebih dalam sebesar -7,69 persen.
Menurutnya, jika target pemerintah mengurangi defisit transaksi berjalan maka solusinya dengan mengurangi impor. Namun, hal tersebut akan berdampak pada lesunya sektor industri manufaktur karena sebagian besar impor barang modal akan berkurang.
"Saya pikir Indonesia masih bisa tahan meskipun defisit melebar ke 3 persen. Ini dilakukan agar kinerja impor bisa naik supaya ekonomi dalam negeri ada perbaikan," kata Lana.
Selain itu, dia juga menilai saat peningkatan impor sangat mungkin dilakukan dunia usaha di tengah penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Lana mengatakan Bank Indonesia bisa membantu pemerintah untuk melanjutkan penguatan rupiah.
Jika kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin kompetitif, lanjutnya, pelaku usaha bisa membeli bahan baku dan barang modal lebih murah. Targetnya bukan untuk pasar ekspor, melainkan meningkatkan perekonomian domestik.
"Kita berharap kegiatan usaha lebih agresif. Makanya, pelonggaran CAD di level 2,8 persen -3 persen sangat mungkin terjadi," ujar Lana.