Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha sawit meminta pemerintah membentuk badan otorita khusus untuk revitalisasi perkebunan dan industri strategis.
Hal ini sebagai upaya agar Indonesia pertahanan manakala produk perkebunan Indonesia dipermasalahkan seperti sawit di Eropa.
Dalam hal ini, Uni Eropa (UE) tengah menggodok kebijakan tentang penetapan dua batas maksimum Free 3 MCPD dan fatty esters 3 MCPD. Dalam beleid itu, UE menaikkan standar tentang batas maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk minyak sawit dari pasar global jika ingin digunakan sebagai bahan makanan.
Namun, UE sendiri menerapkan batas 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di negara anggotanya.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menuturkan tidak ada bukti ilmiah yang menjadi dasar dari kebijakan UE itu.
“Argumentasinya apa? karena di 2,5 ppm aja aman, kenapa harus 1,25 ppm? Berarti mereka tidak mengakui apa yang mereka bilang 2,5 ppm, nah itu kan mendiskriminasikan. Gak ada dasar ilmiahnya itu,” kata Sahat, Jumat (7/2/2020).
Baca Juga
Menurutnya, kebijakan Uni Eropa juga tidak melihat dari sisi imunitas seseorang. Apalagi, selama ini, di Indonesia tidak ada laporan gangguan kesehatan atas penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan.
“Itu kan baru dicoba di tikus-tikus [laboratorium] itu, yang saya mau sampaikan ini kan tergantung imunitas seseorang. mereka cuma bilang itu [bahaya] tapi gak pernah bilang soal imunity power sekalian. Jadi sebetulnya ini hanya masalah bisnis.”
Sebab itu, Indonesia dirasa perlu membentuk badan khusus yang menangani masalah diskriminasi produk perkebunan seperti sawit. “Bentuk otoritas revitalisasi perkebunan dan industri strategis.”
Kendati demikian, Sahat mengatakan sebetulnya produk olahan sawit Indonesia masih memiliki celah untuk masuk ke Eropa melalui Inggris. Apalagi, Inggris masih mau mengimpor minyak nabati asal negara ini.
“Brexit jadi peluang kita ekspor sawit, karena Inggris tahu persis tentang sawit kita.”
DIANGGAP TIDAK SEHAT
Sementara itu, Deputy Executive Director of CPOC, Dupito Simamora mengatakan kebijakan Uni Eropa akan kenaikan standar batas maksimum Free 3 MCPD dan fatty esters 3 MCPD ini secara tidak langsung menuding bahwa minyak nabati Indonesia tidak sehat dikonsumsi.
“Dengan kata lain kalau 1 tingkatan dianggap sehat, dan mereka ingin produksi minyak nabati mereka di bawah standar sehat itu, itu seakan mengatakan minyak sawit kurang sehat dari minyak nabati yang diproduksi Eropa,” kata Dupito.
Karena itu, pihaknya akan melawan tudingan UE. Upaya perlawanan itu dimulai dengan membentuk technical working group yang kemudian hasilnya akan disampaikan secara resmi ke Uni Eropa, baik oleh pihak CPOPC sendiri ataupun dengan menggandeng perwakilan dari Indonesia, Malaysia dan Kolombia.
“Untuk menyampaikan kita menolak, bahkan sebelum itu diberlakukan di EU. Tetapi tentu kalau sudah berlaku, kita harus menghadapinya bukan dengan surat atau pendekatan, tapi bawa ke WTO.”
Senada, Direktur Eksekutif Council of Palm Oul Producing Countries (CPOPC) Tan Sri Datuk Yusof bin Basiron pada kesempatan itu mengatakan pihaknya akan mengirimkan surat pengaduan ke WTO terkait kebijakan itu.
“Mereka harus mengajukan standar mereka di WTO dan ketika mereka melakukan itu, kami akan mengirimkan keluhan kami juga. Mereka ingin menyerahkan standar mereka, untuk diadopsi di WTO. Ketika mereka melakukan itu, WTO akan memberikan ruang bagi orang lain untuk mengeluh jika kita tidak senang,” kata Tan.
Tan mengatakan sebetulnya negara-negara produsen sawit sudah mengeluhkan langsung ke Eropa, namun hingga kini benua biru itu masih bersikeras untuk menerapkan standar mereka.