Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha pembibitan menolak rencana pemerintah yang akan memangkas populasi ayam sebagai tindakan pengendalian populasi.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Berdikari (Persero) Oksan Panggabean berpendapat potensi pemangkasan populasi anak ayam usia sehari (DOC) dan afkir dini pada indukan ayam merupakan bukti bahwa perhitungan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah tidaklah tepat.
Dia pun menyayangkan opsi pemangkasan dan mengharapkan pemerintah dapat memanfaatkan mekanisme ekspor untuk menyikapi pasokan yang berlebih.
"Kebijakan cutting menghambat juga. Padahal tim ahli Kementan sudah melaukan penghitungan, tapi di satu sisi masih ada kelebihan pasokan," kata Oksan ketika ditemui Bisnis di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Di sisi lain, Oksan pun mensinyalir terdapat data yang tak sinkron dari sisi hulu sampai hilir industri perunggasan. Pengawasan importasi induk ayam galur murni (grand parent stock/GPS) dinilainya belum berjalan baik sehingga memungkinkan adanya realisasi pemasukan GPS yang berada di luar kuota.
"Kenapa harus dipangkas? Padahal bisa dimanfaatkan untuk penggalakan ekspor, tapi dengan catatan ada fasilitas dari pemerintah karena ekspor ini tidaklah mudah," imbuhnya.
Baca Juga
Adapun total populasi ayam yang dibudidayakan Berdikari pada 2019 tercatat mencapai 30,42 juta ekor dengan populasi GPS 72.000 ekor, parent stock (PS) 215.000 ekor dan final stock (FS) 30,1 juta ekor. Dari jumlah tersebut, kebutuhan pakan ternak mencapai 59.545 ton.
Produksi ayam ini sendiri tergolong masih di bawah potensi maksimal. Dengan jumlah bibit galur murni yang sama, potensi produksi PS perusahaan bisa mencapai 3,31 juta ekor dan FS 463,68 juta ekor.
Sementara itu, polemik gejolak harga yang lebih ekstrem ini disebut Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori belumlah menemukan solusi yang mujarab terlepas dari berbagai pertemuan berbagai pelaku usaha dan pemangku kepentingan.
Kebijakan penanggulangan harga anjlok sebagai imbas pasokan yang berlebih pun disebut Khudori lebih bersifat reaktif, sementara, dan jangka pendek.
Hal ini setidaknya terlihat dari imbauan pemusnahan seperti pemusnahan telur tertunas (hatchery egg) atau afkir dini induk ayam yang dikeluarkan usai kalangan peternak rakyat melakukan aksi demonstrasi.
"Berfokus pada solusi jangka pendek telah menutup alternatif solusi jangka panjang. Industri ini terlalu lama tumbuh tanpa sentuhan pemerintah dan hampir banyak lini diserahkan ke mekanisme pasar. Karena itu, akar masalahnya perlu disentuh," kata Khudori.
Khudori mengemukakan masalah di industri perunggasan bersifat struktural dan merentang dari hulu ke hilir. Untuk di sisi hulu misalnya, hampir semua input produksi berupa GPS dan bungkil kedelai sebagai kebutuhan pakan diimpor.
"Ketika harga GPS dan bahan pakan naik atau nilai rupiah tertekan, harga-harga itu langsung ditransmisikan ke pasar domestik," imbuhnya.
Pasokan daging ayam yang melimpah pun dinilai Khudori tak lepas dari dominasi peternakan integrator yang terkonsentrasi pada segelintir pelaku. Menurut Khudori, pada 2015 sekitar 80 persen pangsa pasar unggas dan 63 persen pangsa pakan ternak di Indonesia didominasi oleh sejumlah perusahaan. Dia menyebutkan hal ini membuat pasar menjadi rentan.
"Peternak rakyat terjepit karena mereka terpisah dari integrasi vertikal hulu sampai hilir. Padahal peternak rakyat amat bergantung pada integrator, baik DOC, pakan, maupun obat-obatan," sebutnya.
Dalam jangka menengah-panjang, Khudori berpendapat perlu ada langkah yang berdimensi struktural. Pertama, menyediakan harga khusus jagung untuk pakan ternak mengingat pakan merupakan komponen utama di industri perunggasan yang menyerap 70 persen dari ongkos produksi.
"Tinggi rendahnya harga jagung akan menentukan harga ayam dan telur. Pasokan jagung yang pasti dengan harga terjangkau merupakan pilar penting untuk mewujudkan industri perunggasan yang kompetitif," kata Khudori.
Kedua, Khudori mengusulkan audit menyeluruh terhadap perusahaan perbibitan. Audit dinilainya tidak hanya untuk menghitung populasi ayam GPS dan parent stock (PS), tapi juga buat mengikis krisis kepercayaan yang berkembang di antara para pelaku usaha.
Ketiga, Khudori mengatakan integrator seharusnya wajib menyelesaikan integrasi hingga ke hilir, termasuk membangun rumah pemotongan unggas yang dilengkapi dengan cold storage sebagaiman diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian.
"Selain memperbesar nilai tambah, hal ini menjadi solusi kelebihan pasokan. Agar ini berjalan, pemerintah bisa memberikan insentif menarik. Selama ini, implementasi aturan ini masih rendah dan penegakan sanksinya juga lemah," kata Khudori.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto tak banyak berkomentar ketika ditanyai soal potensi gejolak harga ayam. Dia hanya menyebutkan bahwa pihaknya bakal terus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian lantaran polemik ini berkaitan dengan produksi,
"Yang pasti Kemendag tidak bisa jalan sendiri. Ini kaitanya dengan pasokan. Kami akan bahas bersama Kementan," ujarnya.