Bisnis.com, JAKARTA — Peringkat utang Indonesia naik ke layak investasi (investment grade) dari BBB ke BBB+, meskipun saat ini dunia tengah gonjang-ganjing karena wabah virus Corona.
Catatan tersebut dirilis oleh Pemeringkat Hutang Jepang (Japan Credit Rating/JCR). Rating tersebut dikeluarkan berdasarkan beberapa faktor yang terjadi di Indonesia, misalnya soal peningkatan konsumsi dalam negeri yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan alasan JCR meningkatkan rating utang karena ekonomi Indonesia lebih tahan banting dibandingkan negara lain.
Ditengah ketidakpastian ekonomi global dan perang dagang, ekonomi Indonesia cukup beruntung ditopang konsumsi rumah tangga yang mencakup 57 persen porsi produk domestik bruto (PDB).
"Kalau kepercayaan konsumen masih terjaga artinya motor ekonomi lebih mampu tahan banting walaupun ekonomi global 'batu-batuk'," katanya ketika dihubungi Bisnis, Minggu (2/2/2020).
Meski demikian, Bhima menilai pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk memperbaiki kondisi fiskal, khususnya menurunkan defisit neraca berjalan.
Baca Juga
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2019 mencatat defisit US$0,03 miliar. Angka ini menurun signifikan dibandingkan dengan defisit pada bulan sebelumnya sebesar US$1,39 miliar.
Menurutnya, pemerintah harus melaksanakan berbagai upaya untuk menurunkan defisit hingga di bawah 1,8 persen.
"Penurunan defisit neraca berjalan menjadi momentum untuk membuat APBN lebih siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan stimulus fiskal dalam jumlah besar," jelasnya.
JCR juga mencatat Indonesia tahan terhadap guncangan eksternal didukung oleh nilai tukar yang fleksibel dan kebijakan moneter yang kredibel. Sejak pemberian rating terakhir, JCR memfokuskan pada langkah Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki kebijakan pada pemerintahan periode kedua.
Pertama, terkait dengan kebijakan fiskal, pemerintah melanjutkan untuk mengimplementasikan reformasi perpajakan, menekan defisit anggaran dengan mengurangi pembatasan bahan bakar subsidi. Selain itu, JCR menilai Jokowi juga telah meningkatkan upaya mengatasi kendala investasi, salah satunya melalui implementasi Omnibus Law untuk memfasilitasi investasi asing, pengembangan infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Kedua, pembangunan infrastruktur yang dimulai Presiden Jokowi sejak 2014 telah membuat kemajuan yang mantap. Proyek Strategis Nasional berjumlah US$310 miliar atau sekitar 2,7 kali dari produk domestik bruto, dengan sekitar 40 persen dari mereka selesai selama masa empat tahun pertama pemerintahan.
Ketiga, JCR mencatat defisit neraca berjalan Indonesia memang melebar dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan
impor barang modal yang diperlukan oleh pembangunan infrastruktur. Namun, dengan adanya Omnibus Law, Presiden Joko Widodo dapat mengurangi defisit transaksi berjalan dengan peningkatan investasi langsung.
Terakhir, kesehatan fiskal negara telah dipertahankan karena hutang pemerintah pusat tertahan hingga sekitar 30 persen dari PDB. Meskipun defisit anggaran melebar menjadi 2,2 persen dari PDB pada 2019, di tengah perlambatan ekonomi.