Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan memberikan insentif apabila ingin menurunkan harga gas ditingkat industri menjadi US$6 per MMBTU.
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron mengatakan pemerintah harus melihat lebih dalam dampak dari sisi hulu ke hilir migas apabila harga gas harus turun menjadi US$6 per MMBTU. Hal ini untuk menghindari kerugian dan melemahnya investasi di sektor tersebut.
"Sesungguhnya kemampuan Anda memproduksi berapa? Saya cek ke hulu, di hulu plus transportasi dan operasional, ya memang tdak memungkinkan sehingga secara business as usual ya harganya US$6 per MMBTU," ujarnya di DPR, Senin (3/2/2020).
Dia berharap agar sektor migas tidak terbebani akibat kebijakan penurunan harga gas sehingga industri migas baik hulu hingga hilir dapat menjalankan investasinya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga gas pipa hulu untuk sektor industri periode 2019 memang relatif bervariasi. Misalnya saja untuk kawasan Aceh, harga gas pipa hulu berkisar US$6,18 - US$7,65 per mmbtu, kawasan Jawa Barat berkisar US$3,5 - US$8,24 per mmbtu, Jawa Timur berkisar US$6,01 - US$8,2 per mmbtu.
Selain itu, harga gas pipa hulu untuk kawasan Kalimantan berkisar US$3,4 - US$7,3 per mmbtu, kawasan Sulawesi berkisar US$3,5 - US$6,55 per mmbtu, kawasan Sumatra Tengah berkisar US$5,8 - US$7,95, serta Sumatra Utara US$7,37 - US$7,5 per mmbtu.
Baca Juga
Herman menambahkan apabila dipaksakan harga gas US$6 per mmbtu tanpa ada dispensasi dari pemerintah, dapat dipastikan badan usaha yang menyalurkan gas akan rugi karena dengan business as usual tidak mungkin kalau menurunkan harga sampai US$6 per MMBTU.
"Silahkan ada DMO untuk digas, berapa bagiannya, bagian pemerintah, dan disitulah diberikan dispensasi harga tertentu sehingga hitungan plus operasional, transportasi, dan lain sebagainya. Pilihan pemerintah, apakah pemerintah akan mengambil keuntungan dri sisi pajak dan keuntungan lainnya dari hulu atau meningkatkan keuntungan di hilir," tutur Herman.