Bisnis.com, JAKARTA - Skema subsidi gas elpiji 3 kg dinilai dapat tepat sasaran jika memenuhi syarat tertentu.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengubah skema subsidi harga gas elpiji 3 kg mulai semester II 2020. Nantinya, subsidi tidak akan diberlakukan untuk memangkas harga barang, melainkan diberikan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.
Salah satu yang dipertimbangkan adalah kompensasi dalam bentuk uang. Dengan demikian, harga liquid petroleum gas (LPG) akan disesuaikan dengan harga pasar, sekitar Rp35.000 per tabung. Tetapi, masyarakat miskin akan menerima kompensasi dalam bentuk uang atas selisih kenaikan harga gas tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) Arjuna Putra Aldino mengungkapkan bahwa perubahan skema subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung bisa berjalan tepat sasaran apabila data penduduk miskin yang dimiliki pemerintah akurat dan valid.
"Skema subsidi langsung bisa berjalan efektif dengan syarat data kemiskinan yang dimiliki pemerintah itu valid dan akurat" katanya, Senin (27/1/2020).
Menurutnya, kerap terjadi, data kemiskinan yang dimiliki lembaga-lembaga pemerintah berbeda-beda satu sama lain. Bahkan seringkali tidak sinkron dengan kondisi di lapangan.
Baca Juga
"Data kemiskinan yang disajikan BPS berbeda dengan Kementerian dan Lembaga. Bahkan antar Kementerian dan Lembaga seringkali berbeda. Belum dengan Pemda dan Dinas. Pemerintah belum mampu sajikan satu data kemiskinan yang akurat dan akuntabel,” tuturnya.
Maka, kata Arjuna, agar perubahan skema subsidi gas elpiji 3 kg tidak membebani masyarakat miskin, pemerintah harus memiliki data kemiskinan secara detail hingga ke tingkat administrasi terkecil seperti kelurahan dan desa yang menyediakan data secara lengkap seperti nama dan alamat penduduk miskin.
"Data kemiskinan harus by name by address sampai tingkat kelurahan dan desa harus sinkron. Tanpa itu, kebijakan perubahan skema subsidi tidak memiliki dasar dan tidak bisa diukur keberhasilan/kegagalannya. Sangat berbahaya bagi warga miskin,” ucapnya.
Selama ini, menurut Arjuna, data kemiskinan yang disajikan Pemerintah melalui BPS hanya melihat penduduk miskin berdasarkan persentase head count index dengan menggunakan metode sampling dan hanya mampu memberikan gambaran hingga lingkup kabupaten atau kota sehingga potensi bias dari hasil surveinya sangatlah besar.
“Selama ini kita hanya disajikan data penduduk miskin sebagai persentase. Itupun hanya berhenti pada lingkup kabupaten atau kota. Sedangkan orang miskin hidup dalam spasial yang spesifik,” kata Arjuna.
Singkatnya, subsidi langsung butuh data yang akurat hingga menjangkau lokasi tempat orang miskin berada. Butuh identifikasi statistik yang spesifik. Tanpa itu, data kemiskinan akan bias dengan kenyataan di lapangan. Subsidi jadi tidak tepat sasaran.