Bisnis.com, JAKARTA – Upaya peningkatan produksi teh dari estimasi sebanyak 152.000 ton pada 2019 menjadi 320.000 ton pada 2024 dipastikan tak akan mudah di tengah berlanjutnya tren penurunan area perkebunan komoditas tersebut.
Kenaikan produksi sebesar 110,5% itu menjadi target pemerintah guna mendukung ambisi peningkatan ekspor teh dari 36.700 ton pada 2019 menjadi 92.100 ton dalam 5 tahun. Pemangku kepentingan komoditas teh nasional menilai target ini perlu diiringi dengan pembenahan dari segi hulu yang mencakup intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia (DTI) Suharyo Husen memperkirakan produksi teh selama 2019 terkoreksi sekitar 10% lantaran kemarau yang panjang. Di sisi lain, area perkebunan teh disebutnya semakin tergusur lantaran banyak petani yang memilih menanam tanaman lain.
"Lahan perkebunan teh tercatat terus turun. Sekarang tinggal 113.000 hektare, padahal dulu pernah 140.000 hektare. Selain itu, selama kemarau kemarin produksi daun yang dipanen juga berkurang. Hal ini ditambah pula dengan hujan deras ketika banyak produksi, sejumlah petani enggan memanen karena khawatir dengan bencana longsor di lahan miring," terang Suharyo ketika dihubungi Bisnis, Rabu (15/1/2020).
Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia Nugroho B. Koesnohadi pun menyampaikan perkiraan serupa. Menurutnya, produksi teh selama 2019 justru memperlihatkan tren penurunan sebagai imbas dari kemarau dan penurunan area penanaman.
"Untuk membalikkan keadaan menuju peningkatan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 5 tahun ke depan, diperlukan program intensifikasi, rehabilitasi, dan ekstensifikasi dalam waktu yang bersamaan dan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit," ujar Nugroho.
Suharyo sebelumnya memperkirakan sekitar 40% tanaman teh di perkebunan yang dikelola petani rakyat telah memasuki usia tua dengan produktivitas yang menurun. Di sisi lain, luas kebun rakyat menyumbang 43-46% dari total kebun teh secara nasional yang mencapai 113.307 ha.
Dia menyatakan target peningkatan produksi teh bakal sulit dicapai dalam 5 tahun jika realisasi peremajaan tak segera dirampungkan. Selain itu, perlindungan area teh agar tak terus menyusut dinilainya perlu digalakan demi menjaga pertumbuhan produksi.
"Selama 2014 sampai 2019 baru sepertiga dari sekitar 52.000 hektare kebun rakyat yang direhabilitasi lewat GPATN [Gerakan Penyelamatan Teh Nasional]. Jika bisa diremajakan semua dan produktivitas meningkat menjadi 2 ton per hektare, produksi bisa naik dan mungkin akan terasa pada 2024, namun tidak tiga kali lipat," paparnya.
Outlook Teh 2017 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian pada awal 2018 lalu menyebutkan pertumbuhan produksi teh perkebunan rakyat (PR) cenderung turun 0,93% selama 2013 sampai 2017. Sementara produksi pada perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS), masing-masing mencatatkan pertumbuhan positif rata-rata sebesar 0,87% dan 2,77% per tahun.
Terlepas dari perbedaan tersebut, Suharyo mengemukakan perkebunan teh milik perusahaan negara pun perlahan mulai beralih pada tanaman lain seperti sayuran meski jumlahnya tak besar. Adapun dari segi produksi, teh yang dihasilkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (konsolidasi) memperlihatkan penurunan dari 51.332 ton teh kering pada 2016 menjadi 44.776 ton pada 2018. Produktivitas pun terus susut dari 1,66 ton/ha/tahun pada 2016 menjadi 1,46 ton/ha/tahun.