Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Angka Kemiskinan Belum Pantas Dibanggakan

Ekonom senior Indef Enny Sri Hartati menilai, penurunan ini hanya mencerminkan turunnya kemiskinan absolut.
Warga beraktivitas di permukiman semi permanen di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta, Selasa (22/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar
Warga beraktivitas di permukiman semi permanen di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta, Selasa (22/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA  - Menurunnya tingkat kemiskinan pada September 2019 sebesar 0,19% dibandingkan dengan Maret 2019 dan menurun 0,44% terhadap September 2018 belum menggambarkan kesuksesan program penuntasan kemiskinan.

Ekonom senior Indef Enny Sri Hartati menilai, penurunan ini hanya mencerminkan turunnya kemiskinan absolut.

Dia beralasan persentase penurunan itu belum sebanding dengan sejumlah program penuntasan kemiskinan yang menggelontorkan anggaran lebih dari Rp100 triliun.

"Berarti selama ini program pengentasan masih gagal menurunkan angka kemiskinan karena turunnya sangat kecil dan lambat," kata Enny kepada Bisnis.com, Rabu (15/1/2020).

Faktor kedua, menurut Enny, komponen Garis Kemiskinan (GK) September 2019 sebesar Rp440.538 per kapita per bulan memiliki porsi sumbangan terbesar dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar 73,75%.

Hal ini menandakan bahwa yang berhasil diatasi dari program pemberantasan kemiskinan hanyalah kebutuhan pokok masyarakat miskin seperti makanan, belum mencakup peningkatan kualitas kebutuhan hidup seperti kesehatan.

Faktor ketiga adalah dengan GK sebesar Rp440,538 per kapita per bulan, maka dengan angka GK per rumah tangga pada September 2019 sebesar Rp2,01 juta per bulan menandakan belum ada optimalisasi pada upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.

Oleh sebab itu, Enny menilai problem struktural kemiskinan belum terselesaikan dengan tepat sasaran sehingga disparitas kemiskinan di kota dan desa masih cukup besar.

Dia menilai faktor utama masalah struktural kemiskinan di desa belum teratasi adalah ketimpangan data jumlah rumah tangga miskin sehingga dibutuhkan Single Data untuk menuntaskan masalah tersebut.

"Ini terjadi karena tidak tepatnya jumlah sasaran masyarakat miskin dan rumah tangga miskin. Selain itu harus ada obyek produktif yang diberikan kepada masyarakat miskin misalnya lahan atau alat produksi," terang Enny.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper