Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pekerjaan rumah masih perlu dirampungkan Indonesia untuk mewujudkan target ambisius peningkatan ekspor rempah. Adapun sejumlah komoditas yang menjadi unggulan ekspor, yakni lada, pala, cengkeh, vanili, dan kayu manis.
Ketua Umum Dewan Rempah Indonesia (DRI) Gamal Nasir menjelaskan bahwa target peningkatan ekspor sebanyak tiga kali lipat dalam 5 tahun ke depan perlu dibarengi dengan perbaikan produktivitas komoditas-komoditas ini. Tanpa perbaikan di sisi hulu, dia mengaku sangsi target ekspor dapat terwujud.
"Ada syarat yang perlu dipenuhi yakni produktivitas harus meningkat. Apalagi tanaman rempah di Indonesia kebanyakan dikelola di perkebunan rakyat. Jika produksinya rendah, apa yang ingin diekspor?" ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2020).
Gamal berpendapat intensifikasi lahan dengan pemberian pupuk subsidi dapat meningkatkan produktivitas sehingga berimbas pada produksi yang bertambah meski ekstensifikasi lahan tak dilakukan.
"Penambahan luas memungkinkan juga. Namun dengan intensifikasi di lahan eksisting, peningkatan produktivitas tiga empat kali lipat masih memungkinkan. Potensi masih besar, namun petani tetap perlu bantuan seperti pupuk," kata Gamal.
Melalui Gerakan peningkatan produksi, nilai tambah, dan daya saing perkebunan (Grasida), Direktorat Jenderal Perkebunan telah menetapkan sejumlah daerah sebagai wilayah andalan, utama dan pengembangan komoditas ekspor. Untuk lada misalnya, Provinsi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur merupakan wilayah utama peningkatan produksi untuk ekspor. Sementara Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan merupakan wilayah utama.
Selain upaya perbaikan produksi, Gamal menyatakan kualitas panen komoditas rempah pun perlu dibenahi. Dia menyatakan masih banyak petani yang terkendala dalam memproduksi rempah berstandar ekspor akibat kurangnya pendampingan.
Dia menyatakan kendala ini bisa diurai lewat kemitraan penuh antara pihak swasta atau eksportir. Tak seperti komoditas kakao yang telah menerapkan model kemitraan yang menjamin serapan oleh industri, Gamal menyebutkan komoditas rempah belum sepenuhnya diserap dengan mekanisme serupa.
"Untuk ekspor, di negara tujuan tentunya ada syarat yang harus dipenuhi dari segi kualitas. Petani perlu pendampingan untuk itu. Sejauh ini masih ada kendala. Untuk ekspor biasanya ada pihak ketiga yang mengumpulkan, dan dipilih kualitas yang bagus. Namun di tingkat petani belum maksimal," tutur Gamal.
Pemerintah menargetkan produksi komoditas rempah dapat meningkat setidaknya dua kali lipat dalam periode 2020–2024 guna mengejar peningkatan ekspor selama periode yang sama. Pada komoditas lada, produksi pada 2019 yang diestimasi berada di angka 89.700 ton diharapkan dapat meningkat menjadi 138.030 ton pada 2024 mendatang untuk memacu ekspor dari 42.300 ton menjadi 110.400 ton.
Target serupa pun disematkan untuk komoditas lain seperti pala, cengkeh, vanili, dan kayu manis. Khusus untuk cengkeh, produksi bakal digenjot dari 123.800 ton menjadi 132.100 ton dengan estimasi nilai dari US$66,56 juta pada 2019 menjadi US$175,13 juta pada 2024.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor rempah selama Januari sampai September 2019 cenderung memperlihatkan pertumbuhan tipis dibandingkan tahun sebelumnya. Tanaman obat, aromatik, dan rempah tercatat tumbuh 0,19 persen menjadi US$504,93 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$503,96 juta. Volume ekspor pun meningkat dari 279.903 ton menjadi 280.234 ton.
Peningkatan pun terlihat pada kinerja lada hitam yang secara tonase naik 18,48 persen menjadi 13.927 ton dibandingkan 11.755 ton pada Januari–Oktober 2018. Meski volume naik signifikan, pertumbuhan nilai ekspor hanya naik 0,26 persen dari US$35,21 juta menjadi US$35,30 akibat pelemahan harga secara global.