Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan selama 10 tahun terakhir kegiatan produksi industri kimia anorganik stagnan cenderung menurun. Kementerian menilai hal tersebut disebabkan oleh menanjaknya harga gas yang menurunkan daya saing produk kimia anorganik di pasar domestik dan global.
Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan penurunan daya saing terbesar terjadi di tiga subsektor industri kimia anorganik yakni industri semen, kaca lembaran, dan keramik. Sementara itu, ketiga sektro tersebut merupakan penopang pertumbuhan industri kimia anorganik secara keseluruhan.
“[Industri kimia anorganik] non pupuk stagnan 5 tahun terakhir. Semen karena oversupply, kemudian kalau keramik dan kacak kendala utamanya di harga gas yang cukup tinggi. [Alhasil] utilitasnya cukup rendah. Keramik yang tadinya [volume produksinya] nomor 4 di dunia, sekarang jadi nomor 7,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (2/1/2020).
Sigit berujar harus ada upaya pengurangan tarif gas agar industri kimia anorganik dapat kembali jaya. Pasalnya, ujar Sigit, tarif gas berkontribusi sekitar 35% dari biaya produksi. Menurutnya, penurunan signifikan tarif gas dengan mengimplementasikan penuh Peraturan Presiden (Perpres) No. 20/2016 tentang harga gas untuk industri dapat mengerek daya saing industri kimia anorganik.
Seperti diketahui, hingga 3 tahun setelah Perpres 40/2016 rilis, baru 3 industri yang merasakan penurunan harga gas, yaitu pupuk, baja, dan petrokimia. Industri yang lain masih berharap mendapatkan realisasi dari Perpres tersebut sampai saat ini.
Adapun, Sigit menyampaikan pihaknya telah memulai dialog dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk menurunkan tarif gas pada 2020. Adapun, tarif gas bagi industri kimia anorganik saat ini berada di sekitar level US$9,2 per MMBTU.
Baca Juga
“Belum tahu akan turun ke berapa, tapi tahun 2020 targetnya turun,” katanya.