Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apresiasi Rupiah Tak Banyak Topang Neraca Dagang

Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, penguatan rupiah pada 1 bulan terakhir ini belum membuat kinerja ekspor menjadi lebih baik dan atraktif. Terbukti dari pencatatan defisit pada neraca perdagangan November 2019 sebesar US$1,33 miliar.
Mata uang rupiah dan dolar AS/Reuters-Yusuf Ahmad
Mata uang rupiah dan dolar AS/Reuters-Yusuf Ahmad

Bisnis.com, JAKARTA – Stabilnya rupiah sepanjang November 2019, dinilai belum banyak membantu kinerja neraca perdagangan dan menurunkan potensi defisit.

Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, penguatan rupiah pada 1 bulan terakhir ini belum membuat kinerja ekspor menjadi lebih baik dan atraktif. Terbukti dari pencatatan defisit pada neraca perdagangan November 2019 sebesar US$1,33 miliar.

Dia menjelaskan, defisit ini terjadi saat sepanjang November 2019 rupiah mengalami penguatan atau terapresiasi 0,4% (mtm). Dia menyebut, penurunan kinerja ekspor sangat dipengaruhi oleh penurunan nilai ekspor nonmigas pada November. Apalagi, volume ekspor nonmigas November juga tercatat agak turun -9,42% (mtm), sekalipun secara kumulatif dari Januari-November 2019, volume ekspor nonmigas masih naik sekitar 10,0% (yoy).

“Sementara itu, volume impor nonmigas per November tercatat 18,23% [mtm] meskipun pada periode Januari-November 2019 turun tipis -0,33%,” terangnya kepada Bisnis.com, Selasa (17/12/2019).

Dia menjelaskan, penurunan volume ekspor nonmigas dipengaruhi oleh berlanjutnya perlambatan ekonomi global khususnya perlambatan ekonomi dari mitra dagang utama Indonesia, yakni China dan Amerika Serikat.

Dia menilai, meskipun kesepakatan dagang antara kedua negara pada fase pertama telah tercapai, tetapi dampaknya belum akan terasa dalam jangka pendek ini. Hal ini mengingat proyeksi perlambatan ekonomi global termasuk perekonomian China dan Amerika Serikat masih akan berlanjut pada tahun depan.

Sebelumnya, Josua menyebutkan, beberapa harga komoditas ekspor Indonesia yang harganya anjlok bulan lalu antara lain; batu bara, tembaga, besi dan baja, kendaraan serta bagiannya, logam mulia dan perhiasan.

Defisit ini, menurut Josua, juga disebabkan oleh defisit berkepanjangan dari sektor migas sebesar US$1,03 miliar dan defisit nonmigas sebesar US$300,9 juta. Padahal, pada Oktober 2019 neraca perdagangan Indonesia sempat mencatatkan surplus US$172,5 juta.

Josua pun memerinci, penurunan volume tersebut juga didorong oleh penurunan volume ekspor nonmigas mengingat ekspor nonmigas berdasarkan beberapa negara tujuan mengalami penurunan. Sebut saja misalnya ekspor ke China turun -12,6% (mtm), ke negara-negara Asia Tenggara turun -9,3% (mtm), ke Jepang turun -10,4% (mtm), dan ke Taiwan turun -29,3% (mtm).

“Penurunan volume ekspor nonmigas ini mengindikasikan perlambatan volume perdagangan global, mempengaruhi permintaan produk ekspor Indonesia,” jelas Josua.

Dia menambahkan, defisit neraca migas juga masih meningkat pada November dipengaruhi oleh impor migas yang meningkat seiring dengan peningkatan volume impor minyak mentah jelang akhir tahun.

Adapun dalam jangka pendek, pemerintah perlu terus mendorong nilai tambah pada industri yang memiliki potensi ekspor besar. Misalnya saja; industri furnitur, karet dan plastik, logam dasar, dan barang loga, serta saat bersamaan mendorong substitusi impor seperti kimia dan farmasi, mesin, dan alat angkutan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper