Bisnis.com, JAKARTA — Bisnis pengolahan kakao diperkirakan masih memiliki prospek yang positif pada 2020 mendatang kendati pasokan bahan baku dari dalam negeri menunjukkan tren penurunan.
Pelaku usaha menilai prospek baik ini didongkrak oleh pertumbuhan industri makanan dan minuman di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Hal ini sejalan dengan proyeksi Organisasi Kakao Internasional (ICCO) yang memperkirakan bahwa pengolahan kakao di kawasan Asia cenderung tumbuh ketika kawasan seperti Eropa dan Amerika Utara memperlihatkan penurunan permintaan.
“Prospek kakao masih baik. Pertumbuhan industri makanan dan minuman di Asia saya perkirakan menjadi pendorong pertumbuhan dunia,” ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman kepada Bisnis, baru-baru ini.
ICCO memperkirakan produksi kakao Indonesia selama periode 2018/2019 hanya akan mencapai 220.000 ton, turun dibandingkan periode 2017/2018 yang mencapai 270.000 ton.
Kendati diselimuti prospek positif, Piter mengharapkan pemerintah bisa menurunkan tarif bea masuk biji kakao yang saat ini dipatok 5% menjadi 0% demi mendukung daya saing industri dalam negeri yang menghadapi kendala terbatasnya pasokan bahan baku.
“Usulan tersebut kami usulkan karena pasokan bahan baku dari dalam negeri tidak mencukupi. Hal ini sifatnya sementara sampai produksi biji kakao nasional bisa naik,” tambah Piter.
Kementerian Perindustrian mencatat dari total 747.000 ton kapasitas dalam setahun milik 20 pabrik pengolahan kakao yang beroperasi, utilitasnya baru mencapai 59% pada 2018. Dari utilitas yang terpakai tersebut, industri harus mengimpor bahan baku guna memenuhi kapasitas produksi.
Piter menyatakan produksi kakao setidaknya perlu meningkat menjadi 600.000 ton agar daya saing produk lokal di pasar ekspor bisa terjaga.