Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia angkat bicara terkait tudingan melakukan pengembangan kelapa sawit yang menyebabkan deforestasi dan mengakibatkan meningkatnya emisi karbon.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menegaskan beberapa tahun belakangan ini, Indonesia telah melakukan moratorium pemberian izin baru pengelolaan hutan alam dan lahan gambut.
Penghentian izin sementara tersebut telah ditetapkan menjadi permanen. Indonesia juga melakukan moratorium izin baru perkebunan kelapa sawit serta mendorong diberlakukannya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), selain melakukan peremajaan kelapa sawit rakyat (small holder) dan upaya peningkatan produktivitas dengan pemilihan bibit kelapa sawit unggul sebagai upaya mengelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
"Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah korektif untuk menahan laju deforestasi, termasuk dari ekspansi kelapa sawit," ujar Alue ketika menjadi panelis pada diskusi “Sustainable Food and Land Use Systems for A Cool and Healthy Planet” yang digelar di Paviliun GCF-GEF, Madrid, seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (11/12/2019).
Alue menyatakan bahwa Indonesia telah mengubah pendekatan pengelolaan hutannya dari yang berbasis kayu ke pendekatan lanskap sehingga lebih mampu mengatasi persoalan-persoalan penyebab deforestasi di luar hutan.
Perubahan paradigma ini telah mampu meningkatkan manfaat keberadaan hutan yang tidak hanya fokus pada hasil hutan kayu dan nonkayu saja, tetapi juga jasa lingkungan serta dukungan pada kelestarian rantai pasokan (sustainable supply chains).
Pendekatan lanskap yang didukung oleh pendekatan yurisdiksi diharapkan mampu meningkatkan kinerja restorasi dan rehabilitasi lahan terdegradasi untuk menjaga penyediaan jasa lingkungan hutan. Pendekatan tersebut juga diyakini mampu meningkatkan inklusivitas pengelolaan hutan berkelanjutan yang melibatkan para pemangku yang luas seperti masyarakat setempat dan sektor swasta melalui pengembangan sistem insentif.
Untuk upaya ini, Indonesia juga akan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan, termasuk Global Environmental Finance (GEF) guna menunjukkan bahwa aksi iklim yang ambisius yang berbasis pada hutan dan lahan dapat diandalkan dan sangat mungkin untuk dilaksanakan di berbagai tempat.