Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menetapkan ketentuan penerimaan negara bukan pajak baru pada sektor energi. Beberapa komoditas mineral logam, khususnya yang belum diolah, mengalami kenaikan tarif royalti secara signifikan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Beleid yang diundangkan pada 25 November 2019 tersebut sekaligus mencabut PP No. 9/2012.
Bijih nikel mengalami kenaikan tarif royalti dari 5% menjadi 10% dari harga jual. Kenaikan signifikan juga dialami bijih besi dari 3% menjadi 10%, pasir besi dari 3,75% menjadi 10%, serta bijih mangan dari 3,25% menjadi 10%.
Sementara itu, mineral hasil pengolahan dan pemurnian seperti nickel matte dan ferronickel justru mengalami penurunan tarif royalti dari 4% menjadi 2%.
Adapun tarif royalti untuk emas berkisar antara 3,75%—5%, bergantung pada harga jual per ounce. Sebelumnya, tarif royalti emas dipatok 3,75%.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan perubahan tarif royalti tersebut memberatkan bagi para penambang nikel. Terlebih, tak ada kepastian pengaturan harga bijih nikel lokal di Indonesia.
"Ini sangat memberatkan kami bagi para penambang nikel. Berat sekali," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (10/12/2019).
Sementara itu, Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Jonson Pakpahan mengatakan tarif PNBP terbaru ini akan efektif diterapkan pada awal Januari mendatang.
Adapun berdasarkan Pasal 18 PP No. 81/2019, tarif royalti tersebut akan mulai berlaku 30 hari sejak diundangkan. Artinya, penerapan tarif royalti baru sudah bisa dilakukan mulai 25 Desember 2019.
"Sesuai dengan PP-nya, 30 hari diundangkan akan diterapkan," katanya.