Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah sejumlah negara di Asia berupaya untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi ketika bank-bank sentral secara bertahap tampak menghentikan pelonggaran kebijakan moneter.
Pada Kamis (5/12/2019), pemerintah Jepang mengumumkan paket stimulus senilai sekitar 26 triliun yen (US$239 miliar), di mana sekitar separuh nilai ini berasal dari pengeluaran pemerintah.
Perdana Menteri Shinzo Abe menggambarkan stimulus baru itu sebagai paket tiga pilar untuk meningkatkan bantuan bencana, perlindungan terhadap risiko penurunan, dan mempersiapkan pertumbuhan jangka panjang setelah Olimpiade Tokyo 2020.
Menurut draf paket yang diperoleh Bloomberg, paket stimulus tersebut akan meningkatkan pertumbuhan riil sekitar 1,4 poin persentase.
Langkah ini diambil sehari setelah Hong Kong mengumumkan langkah-langkah tambahan untuk menopang bisnis yang telah terpukul kisruh politik selama sekitar enam bulan terakhir.
Pemerintah Hong Kong telah menanggapi resesi dengan serangkaian langkah-langkah fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan bisnis dan rumah tangga.
Pada Rabu (4/12), pemerintah Hong Kong mengumumkan paket tambahan senilai HK$4 miliar (US$511 juta). Dengan demikian, sejak Juni, total paket yang diluncurkan menjadi senilai sekitar HK$25 miliar.
Di India, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi telah mengambil serangkaian langkah untuk menghentikan penurunan ekonomi, dengan menambah stimulus moneter melalui pemangkasan suku bunga sebanyak lima kali tahun ini.
Langkah-langkah yang dimaksud termasuk pemotongan pajak perusahaan senilai US$20 miliar, dana senilai US$1,4 miliar untuk menyelamatkan proyek-proyek perumahan yang terhenti dan stimulus senilai US$7 miliar untuk eksportir.
"Kita akan melihat lebih banyak langkah tersebut [stimulus],” ujar Hak Bin Chua, ekonom senior di Maybank Kim Eng Research Pte., seperti dilansir melalui Bloomberg.
“Ruang untuk kebijakan moneter telah menyempit, mengingat seberapa dekat tingkat suku bunga dengan batas nol. Ada pengakuan yang meningkat bahwa kita tidak bisa hanya bergantung pada bank sentral, pemerintah harus memberikan dukungan melalui kebijakan fiskal,” lanjutnya.
Ini mungkin lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tidak seperti keputusan tingkat suku bunga yang umumnya dibuat oleh komite bank sentral, stimulus fiskal membutuhkan persetujuan dari pemerintah dan terkadang parlemen.
Selain itu, dampak kebijakan fiskal mungkin muncul dengan baru kemudian. Ini menjadi disinsentif bagi para pemimpin yang mungkin sudah tidak menjabat pada saat itu.
“Namun, para pembuat kebijakan mulai menerima bahwa sesuatu yang lebih besar perlu dilakukan,” ujar Tuuli McCully, kepala ekonom Asia Pasifik di Scotiabank.