Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri kemasan fleksibel menilai penerapan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) pada aluminium foil menurunkan daya saing produk lokal. Pasalnya, aluminium foil berkontribusi 30% dari biaya produksi dan kebutuhan bahan baku industri kemasan fleksibel.
Asosiasi Industri Kemasan Fleksibel (Rotokemas) menyatakan pasokan kemasan fleksibel dunia saat ini melebihi permintaan global. Hal tersebut disebabkan oleh hilangnya negara penyerap utama kemasan fleksibel China akibat perang dagang.
“Tentu mereka [China] akan ekspor ke kawasan. Kawasan kita yang paling rentan karena semua harga bahan baku meningkat. Tentunya jadi peluang bagi [China], itu pendapat kami,” ujar Anggota Senior Rotokemas Purnomo Wijaya kepada Bisnis, Kamis (5/12/2019).
Purnomo menyatakan harga kemasan fleksibel China lebih murah 15% sebelum penerapan BMTP. Menurutnya, daya saing kemasan fleksibel China akan semakin tinggi atau menjadi lebih murah sekitar 20% dari kemasan fleksibel lokal.
Pihaknya telah berdialog dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), tetapi belum ada tanggapan lebih jauh. Menurutnya, Kemendag menilai industri aluminium nasional memiliki kapasitas yang berlebih. “Padahal kenyataannya [industri aluminium foil] kita kekurangan kapasitas, makanya kami impor.”
Purnomo menilai pertumbuhan industri kemasan fleksibel nasional suram pada tahun depan. Pasalnya, industri juga dihadapkan dengan perlambatan produksi produk fast moving consumer goods (FMCG).
Purnomo meramalkan performa industri kemasan fleksibel pada tahun depan akan lebih buruk dari akhir tahun ini yang diperkirakan stagnan. Menurutnya, asosiasi memproyeksikan pertumbuhan industri kemasan fleksibel pada tahun depan akan melaju di zona merah atau turun hingga 5% secara tahunan.
Pihaknya mengusulkan agar pemerintah juga memberikan bea masuk pada produk kemasan fleksibel impor menjadi 10% dari posisi saat ini di level 0%. “Jadi, bukan raw material-nya saja, tapi kemasan yang diimpor harus kena bea masuk.”