Bisnis.com, LONDON - Delegasi Indonesia di Sidang Majelis International Maritime Organization (IMO) atau Organisasi Maritim Internasional yang ke-31 terus menggalang dukungan untuk memuluskan langkah meraih satu kursi anggota Dewan IMO Kategori C periode 2020-2021.
Pada hari pertama pembukaan Sidang Majelis IMO ke-31, Delegasi Indonesia dipimpin oleh Wakil Duta Besar Indonesia di London Adam Mulawarman Tugio. Adam didampingi oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan Sugihardjo.
"Sidang Majelis IMO ke-31 resmi dimulai dan Indonesia akan berjuang mendapatkan salah satu kursi dari 20 kursi yang tersedia untuk menjadi anggota Dewan IMO Kategori C periode 2020-2021. Saat ini, 25 negara anggota IMO sudah tercatat sebagai kandidatnya," ujarnya di Kantor Pusat IMO, London, Inggris, Senin (25/11/2019).
Menurutnya, Sidang Majelis IMO ke-31 dijadwalkan berlangsung pada 25 November hingga 4 Desember 2019 di markas besar IMO di London, Inggris.
Delegasi Indonesia dijadwalkan untuk menghadiri Resepsi Diplomatik yang diselenggarakan negara-negara anggota IMO yang lain untuk menggalang dukungan dalam pemilihan anggota Dewan IMO Kategori C tersebut.
“Di sela-sela Sidang, kita akan sempatkan pula untuk menghadiri Resepsi Diplomatik yang diselenggarakan oleh Korea untuk melakukan pendekatan dan melobi negara anggota lainnya untuk pencalonan kembali Indonesia sebagai anggota Dewan IMO Kategori C,” ujar Sugihardjo dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga
Saat ini, lanjutnya, Indonesia sudah mendapat dukungan dari 94 negara anggota IMO. Targetnya, Indonesia mendapatkan lebih dari 135 dukungan sehingga dapat naik peringkat.
Pada periode 2018-2019, Indonesia masuk anggota Dewan IMO Kategori C di peringkat ke-9 dengan jumlah dukungan (voting) dari 132 negara. Dengan jumlah dukungan itu, Indonesia ada di bawah peringkat Singapura, Turki, Siprus, Malta, Maroko, Mesir, dan Meksiko. Sementara itu, Malaysia dan Peru ada di bawah Indonesia dengan jumlah dukungan yang terpaut tipis.
"Dalam pergaulan internasional ini, prestise negara menjadi penting. Kalau kita dianggap sebagai bangsa yang terpandang, martabat sebagai bangsa juga naik, juga dalam mengambil inisiatif-inisiatif regulasi menjadi penting," kata Sugiharto.
Ke depan, lanjutnya, Indonesia sebagai anggota IMO jangan sekadar terpilih sebagai dewan, tetapi menjadi silent partner. Menurutnya, Indonesia harus aktif untuk mendorong kepentingan nasional di bidang kelautan dan pelayaran. Dengan demikian, Indonesia dapat berkontribusi untuk menyusun pedoman atau rules and regulations dalam forum IMO.
"Dengan keanggotaan itu, bukan hanya terpilih, kita juga mendorong kepentingan nasional kita. Termasuk juga dalam standar-standar yang spesifik, standard measurement," kata Sugihardjo.
Dia memaparkan standar yang berlaku internasional bersifat mandatori dan harus diratifikasi oleh 174 negara anggota IMO. Namun, regulasi non-convention vessel standard dapat disusun sesuai dengan karakteristik suatu negara.
"Karena kita daerah kepulauan, nanti kita juga kembangkan regulasi non-convention vessel standard, misalnya, standar kapal-kapal yang didesain dengan wilayah perairan kita," paparnya.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia sedang menginisiasi inisiatif regulasi tentang bandara perairan yang merupakan kolaborasi aturan International Civil Aviation Organization (ICAO) dan IMO yang akan mengatur soal pesawat yang dapat mendarat di laut.
Di sisi lain, Sugihardjo mengatakan banyak negara yang mendorong isu soal transportasi laut yang berkelanjutan dan keselamatan pelayaran dengan teknologi navigasi. Selain itu, IMO juga sedang membahas teknologi kapal otonom (autonomous ships).
"Tadi Turki menyarankan IMO tetap harus deal dengan auto ships, tapi secara gradual masih pakai awak, baru nirawak. Ini sudah mulai berkembang kita enggak boleh ketinggalan."