Seberapa Efektif Omnibus Law?
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2018 pun menunjukkan bahwa regulasi tumpang tindih dan ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar lambatnya pertumbuhan ekonomi.
“Tanpa melakukan perbaikan birokrasi, pembentukan UU sapu jagat untuk menyelesaikan kendala regulasi tak akan efektif. Menghilangkan ego sektoral harus dilakukan dalam satu rangkaian reformasi birokrasi,” tegasnya.
Nur Solikhin memaparkan bahwa dengan karakteristik UU sapu jagat yang merevisi puluhan UU dengan satu UU yang mengatur banyak sektor, artinya kehadirannya berpengaruh pada keberadaan UU yang lain.
Misalnya, rencana pembentukan UU pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan pendekatan UU sapu jagat akan berpengaruh setidaknya pada aturan UMKM yang sudah ada. Beberapa di antaranya seperti UU Perseroan Terbatas, Koperasi, Ekonomi kreatif dan sebagainya.
“Hal yang sama juga terjadi pada rencana pembentukan UU penciptaan lapangan kerja. Ruang lingkup yang luas dan lintas sektoral ini memberikan kedudukan eksklusif bagi UU sapu jagat dalam sistem perundang-undangan,” ujarnya.
Menurutnya, eksklusivitas tersebut bisa menyebabkan UU sapu jagat sebagai cara praktis penguasa memaksakan pengaturan yang diinginkan dengan satu UU saja. “Risikonya adalah pengabaian hak-hak publik,” tegasnya.
Apalagi, jika UU sapu jagat saat ini didorong oleh pemerintah untuk perbaikan iklim investasi. Bisa saja pemerintah menggunakan dalih iklim investasi untuk membenarkan setiap keputusannya meskipun mengabaikan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, proses penegakan hukum, antikorupsi, nilai-nilai akuntabilitas, dan transparansi.
“Oleh karena itu, meskipun pembentukan UU sapu jagat tidak dilarang dalam sistem perundang-undangan Indonesia, proses menyusunnya harus sangat hati-hati agar tidak disalahgunakan,” tegasnya.
PERLU HATI-HATI
Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, sepakat dengan kehati-hatian yang harus dilakukan pemerintah dalam menyusun omnibus law tersebut.
“Integrasi dan kodifikasi dalam omnibus law ini bukan berarti resentralisasi (lawan dari desentralisasi) Karena kalau berkaca pada penerapan OSS, jangan sampai muncul persepsi penarikan kewenangan,” jelasnya.
Misalnya, omnibus law tentang cipta lapangan kerja, menyepakati secara nasional bahwa akan dirasionalisasi jumlah dan jenis izin. Namun, proses penyelenggaraan dan kewenangan pemberian izin tetap harus di pemda.
“Hal ini harus clear, karena kalau tidak nanti resistensi dari daerah akan muncul. Jadi, jangan bernuansa resentralisasi. Karena pada akhirnya, orang berusaha itu di lapangan yakni di daerah daerah bersangkutan itu,” ujarnya.
Kalau tidak clear dari awal, lnjut Robert, bisa jadi malah daerah bersangkutan akan masa bodoh dan yang paling menyedihkan justru bisa menghambat.
Daerah akan berpikir bahwa izin sudah jadi kewenangan pusat dan mereka tidak mendapatkan bagian dari proses pengurusan izin yang itu mungkin juga bisa berdampak pada sisi peneriman pendapatan daerah.
“Intinya kesepakatan dasar ini harus muncul alias tidak ada yang namanya penarikan kembali kewenangan atau resentralisasi,” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, sebagai pihak terkait, maka seharusnya sudah menjadi kewajiban bahwa pemerintah pusat dalam menyusun omnibus law juga turut melibatkan pemerintah daerah, pelaku usaha, dan publik.
“Pelaku usaha sebagai pengguna beleid, pemda sebagai penyelenggara perizinan. Jadi, jangan sendirian dari pusat tanpa melibatkan mereka,” ujarnya.