Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Implementasi Safeguard Pertekstilan Harus Dikawal Ketat

Pengawasan yang ketat dalam proses importasi diperlukan untuk memperkuat efektivitas penerapan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) impor tekstil dan produk tekstil  (TPT).
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kedua kanan) bersama Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (tengah), Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kedua kiri), Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kanan) dan Jampidsus Arminsyah menunjukan barang bukti produk tekstil hasil tindak pidana kepabeanan di Kemenkeu, Jakarta, Kamis (2/11)./ANTARA-Hafidz Mubarak A
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kedua kanan) bersama Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (tengah), Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kedua kiri), Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kanan) dan Jampidsus Arminsyah menunjukan barang bukti produk tekstil hasil tindak pidana kepabeanan di Kemenkeu, Jakarta, Kamis (2/11)./ANTARA-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA - Pengawasan yang ketat dalam proses importasi diperlukan untuk memperkuat efektivitas penerapan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) impor tekstil dan produk tekstil  (TPT).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswasta mengaku khawatir, tanpa adanya pengawasan yang ketat, laju impor TPT yang dikenakan safeguards sementara akan tetap tinggi. Pasalnya, para importir nakal akan terus berupaya mencari celah dari peraturan yang dibentuk pemerintah.

“Kunci efektivitas kebijakan BMTPS ini ada di pengawasan. Sebab bisa jadi nanti importir berusaha memalsukan atau mengganti, kode harmonized system (HS) produk yang impornya dikenakan BMTPS menjadi produk yang tidak diberlakukan BMTPS,” katanya ketika dihubungi Bisnis.com, Minggu (10/11/2019).

Menurutnya, dia berkaca pada kasus pelanggaran importasi besi dan baja di Indonesia yang menggunakan modus yang sama, guna mengelabuhi pengawasan dari pemerintah. Terlebih, lanjutnya, aktivitas impor TPT borongan kembali marak terjadi, meskipun telah dilarang pemerintah.

Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif BMTPS impor sejumlah produk TPT oleh pemerintah, Redma menilai  besaran tarifnya belum mampu memulihkan industri dalam negeri. Menurutnya, besaran tarif bea masuk tersebut hanya bersifat mengerem laju impor yang selama ini cukup deras.

Pasalnya, besaran tarif bea masuk tersebut hanya dihitung dari selisih harga produk impor dengan harga produk domestik yang berlaku di pasar. Perhitungan tarif tersebut belum memasukkan harga riil di tingkat produsen domestik.

Redma mengatakan, saat ini cukup banyak produsen kain domestik yang membanting harga jual produknya di bawah harga pokok produksinya agar dapat bersaing dengan barang-barang impor.

“Namun kami paham, tarif dalam BMTPS ini  sifatnya sementara. Harapan kami, di aturan safeguard yang sifatnya permanen nantinya, besaran bea masuknya bisa lebih tinggi. Selain itu jumlah produk yang dikenai hambatan tarif pun juga ditambah,” katanya.

Menurutnya terdapat sejumlah produk TPT yang belum masuk dalam daftar pengenaan BMTPS. Dia mencontohkan produk-produk tersebut a.l. kain tenun dan rajut serta benang span rangkap. Dia menduga pemerintah belum melihat adanya lonjakan impor yang besar dari produk-produk tersebut sehingga tidak dikenai safeguard sementara.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan besaran tarif BMTPS cukup efektif mengendalikan impor TPT yang berlebihan. Menurut informasi yang diperolehnya dari para importir, perbedaan harga produk impor antara sebelum dan sesudah dikenakan BMTPS  cukup signfikan.

“Namun tentunya, besaran tarif yang diberlakukan dalam BMTPS saat ini bisa berubah ketika safeguard permanen diberlakukan. Begitu pula produk-produknya, mana saja yang perlu dikeluarkan dari daftar pengenaan bea masuk dan yang perlu ditambahkan ke daftar tersebut,” katanya.

Dia mengatakan dalam penerapan safeguard permanen nantinya, produk tekstil jadi akan ikut serta dalam daftar produk yang dikenakan bea masuk tambahan. API, lanjutnya, telah mengusulkan kepada pemerintah untuk memasukkan produk tersebut dalam daftar pengenaan safeguard. Seperti diketahui, produk tekstil jadi tidak masuk  dalam daftar produk yang dikenakan BMTPS.

KEPUTUSAN TEPAT

Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil (Ikatsi) Suharno Rusdi mengapresiasi kebijakan pemerintah memberlakukan BMTPS terhadap sejumlah produk tekstil. Dia menilai, pemerintah mengambil keputusan yang tepat dengan memberlakukan besaran bea masuk secara beragam sesuai dengan karakteristik tiap produk TPT.

“Kami awalnya cukup khawatir besaran safeguard akan dipukul rata dalam bentuk persen. Namun ternyata tidak. Langkah ini cukup melegakan kami setidaknya selama 200 hari ke depan sebelum safeguard permanen diberlakukan,” ujarnya.

Kendati demikian, Suharno juga menegaskan perlunya pengetatan pengawasan dalam hal pemalsuan dokumen impor. Dia khawatir para importir nakal akan memalsukan keterangan negara asal barang impor. Pasalnya, pemerintah tidak menerapkan kebijakan safeguard secara merata ke seluruh negara asal impor.

“Kami juga berharap, ada peningkatan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan tikus. Sebab dengan adanya tarif impor tambahan ini, kami menduga akan ada upaya penyelundupan impor oleh importir nakal,” ujarnya.

Sekadar catatan, pemerintah resmi memberlakukan BMPTS terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) mulai 9 November 2019. BMTPS tersebut berlaku selama 200 hari ke depan.

Keputusan itu tertuang dalam tiga buah peraturan Menteri Keuangan (PMK) yakni PMK No.161/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara Terhadap Impor Benang (Selain Benang Jahit) Dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial; PMK No.162/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara Terhadap Impor Produk Kain;  serta PMK No.163/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara Terhadap Impor Tirai (Termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya.

Dalam peraturan tersebut,  pengenaan BMPTS tersebut salah satunya didasarkan penyelidikan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang menemukan adanya kerugian terhadap industri terkait akibat lonjakan impor masing-masing produk di Indonesia.

Adapun, dalam PMK No.161/2019, produk benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial dikenai bea masuk sebesar Rp1.405/kilogram.  Dalam hal ini, kebijakan tarif itu dikenakan terhadap enam pos tarif yang termasuk dalam produk tersebut.

Sementara itu dalam PMK No.162/2019, produk kain impor dikenakan bea masuk yang beragam yang disesuaikan dengan  pos tarifnya, yakni mulai dari Rp1.318/meter—Rp9.521/meter. Tarif tersebut dikenakan terhadap 103 pos tarif produk kain.

 Selain ditetapkan dalam bentuk rupiah per meter, tiga produk kain juga dikenakan bea masuk dalam bentuk persen, yakni kain dengan pos tarif 5408.22.00 dikenakan bea masuk 39,40%; pos tarif 5408.32.00 dikenai bea masuk 67,70% dan pos tarif 5408.34.00 sebesar 36,30%.

Selanjutkan pada PMK No.163/2019 produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur dan barang perabot lainnya, dikenai bea masuk Rp41.083/kg. Setidaknya terdapat delapan pos tarif dari produk-produk tersebut yang dikenai BMTPS.   

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Wisnu Wardhana mengatakan, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) saat ini tengah melakukan investigasi mendalam mengenai impor TPT yang dinilai merugikan Indonesia. Menurutnya, selama penerapan BMTPS, pemerintah Indonesia menerima masukan dari semua pihak, guna menghasilkan kebijakan tarif yang akurat dalam menerapkan safeguard permanen nantinya.

“Kemendag dan Ditjen Bea dan Cukai juga akan bekerja sama untuk memperkuat pengawasan di lapangan,” ujarnya.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Deni Surjantoro mengakui terdapat potensi pelanggaran impor pascadiberlakukannya BMTPS. Dia mengatakan, salah satu modus yang biasa terjadi adalah penyelundupan impor di sejumlah pintu pelabuhan.

“Kami akan tingkatkan pengawasan dan patroli di sejumlah pesisir yang biasa menjadi pintu masuk impor tekstil ilegal. Contohnya di pesisir timur Sumatera. Kami akan awasi trafiknya supaya tidak ada ruang bagi importir ilegal memainkan aturan yang pemerintah buat,” katanya.

Dia juga menyebutkan, Ditjen Bea dan Cukai juga akan melakukan antisipasi dengan menerapkan pengawasan di pintu kepabeanan resmi, guna mengantisipasi pemalsuan dokumen impor. Peningkatan pengawasan juga akan dilakukan di kawasan berikat dan importiri yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper