Bisnis.com, JAKARTA–Pakar hukum memberikan banyak catatan mengenai rencana pemerintah untuk mengundangkan dua omnibus law yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai ada empat prasyarat yang perlu dipenuhi sebelum omnibus law dibahas.
Pertama, pemerintah serta DPR perlu menjamin bahwa sasaran dari omnibus law adalah perubahan, pencabutan, atau pemberlakuan dari fakta yang terkait tetapi terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Kedua, pemerintah bersama DPR perlu melakukan pemetaan regulasi yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal dan landasan dari setiap UU yang direvisi melalui omnibus law Perlu diuji kembali landasan sosiologis serta filosofisnya.
Ketiga, omnibus law yang nantinya dibahas tidak boleh diposisikan menjadi UU payung karena sistem legislasi Indonesia tidak mengenal UU semacam itu.
Keempat, apabila omnibus law bersifat umum maka regulasi tersebut perlu mencabut ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan.
Meski demikian, hal ini berpotensi menimbulkan masalah apabila omnibus law yang bersifat umum berhadapan dengan aturan yang bersifat khusus yang mengesampingkan aturan umum.
Seperti diketahui sebelumnya, tujuan pemerintah mengusulkan keberadaan omnibus law adalah dalam rangka mengakselerasi investasi.
Meski terdengar baru, omnibus law sesungguhnya pernah diundangkan oleh pemerintah bersama dengan DPR, contohnya adalah UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
UU tersebut menarik urusan DPRD mengenai pengawasan atas pelayanan publik dan iklusi DPRD dalam UU tersebut dipandang bakal mengakselerasi kinerja DPRD dalam melakukan pengawasan.
Agar ada jaminan bahwa omnibus law bisa benar-benar mengakselerasi urusan investasi dan penciptaan lapangan kerja sebagaimana yang diinginkan dalam UU Cipta Lapangan Kerja, perlu ada monitoring dan evaluasi yang kuat dari lembaga negara.
"Tahapan monitoring dan evaluasi belum menjadi tradisi yang melembaga secara kuat dalam siklus legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan," ujar Ronald, Senin (4/11/2019).
Adapun hingga saat ini hanya ada satu UU yang mewajibkan adanya monitoring atas pelaksanaan UU yakni UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari pun menekankan bahwa permasalahan hukum di Indonesia bukanlah banyaknya regulasi sebagaimana yang disebutkan oleh Presiden Joko Widodo, tetapi terkait dengan disharmoni antaraturan yang ada.
Oleh karena itu, munculnya omnibus law dari pemerintah lebih disebabkan oleh adanya persaingan antarnegara untuk menciptakan regulasi yang ramah investasi.
"Ada persaingan regulasi di level global untuk menjelaskan kepada investor bahwa investasi ini mudah dan tidak berbelit. Ini memang sulit dihindari," ujar Feri, Senin (4/11/2019).
Selain itu, Feri juga menghimbau kepada pemerintah serta DPR untuk tidak memaksakan keberadaan omnibus law karena sangat sulit untuk menyatukan banyak objek hukum dalam satu UU.
Seperti diketahui, omnibus law berpotensi merevisi banyak poin dalam 71 UU yang di antaranya meliputi UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 25/2007 dan sekitar 40 hingga 50 UU sektor.
Dengan adanya UU Cipta Lapangan Kerja, beberapa poin yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan juga akan direvisi.
Poin-poin baru yang diusung antara lain perubahan pendekatan perizinan dari license based approach menjadi risk based approach; pergeseran kewenangan pembuatan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dari menteri ke presiden; penguatan peranan OSS; hingga pemusatan daftar negatif investasi (DNI) yang awalnya tersebar dalam banyak UU sektor menjadi ke dalam satu UU.