Bisnis.com, MANGUPURA – Indonesia bakal meninjau kembali draf Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia – Uni Eropa (Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/Indonesia EU CEPA) untuk memastikan agenda nasional yang berkaitan dengan sawit tidak terabaikan dalam perundingan kerja sama.
Hal ini diungkapkan Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar kala menghadiri hari kedua gelaran Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Jumat (1/11/2019).
Dalam kesempatan tersebut, ia pun menegaskan tekad Indonesia untuk melanjutkan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas rencana pembatasan penggunaan biodiesel oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Melayangkan gugatan melalui organisasi internasional itu pun disebut Mahendra bukanlah sebuah opsi. Sebagai negara anggota WTO, dia mengatakan pengajuan gugatan atas kebijakan yang dinilai diskriminatif merupakan hak Indonesia.
"Langkah yang akan dilakukan adalah melihat apakah teks draf CEPA yang dirundingkan memang merumuskan posisi yang adil terhadap sawit. Kami akan tinjau dan laporkan ketika sudah ada hasilnya," kata Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu.
Perundingan Indonesia EU CEPA yang dimulai pertama kali pada 2016 telah memasuki putaran ke delapan. Indonesia EU CEPA diproyeksi akan mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sampai dengan 0,5% per tahun dan meningkatkan nilai ekspor sampai dengan US$1,1 miliar atau tumbuh 5,4% per tahun.
Proses perundingan Indonesia EU CEPA sendiri dikhawatirkan terimbas seiring meningkatnya tensi hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa usai organisasi multinasional tersebut memberlakukan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang mengatur penggunaan energi terbarukan untuk periode 2020-2030.
Dalam RED II dan Delegated Act, produk sawit dimasukkan dalam daftar komoditas bahan bakar nabati yang tak memenuhi praktik kelanjutan dan disebut berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan hutan atau indirect land-use change (ILUC).
Berkenaan dengan tudingan nilai keberlanjutan yang terabaikan dalam industri sawit, Mahendra menyatakan bahwa dasar label risiko tinggi terhadap alih fungsi lahan yang dilakukan Uni Eropa terhadap sawit bukanlah hasil yang bersifat saintifik.
"Jangan melihat sawit dari satu sisi saja, apalagi dengan dasar yang tidak saintifik seperti ILUC. Ada berbagai macam model ILUC dan hasilnya bisa berbeda-beda. Kalaus saintifik harusnya dengan model apapun hasilnya sama," kata Mahendra.