Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengaku sedang melakukan proses harmonisasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTPS) tekstil dan produk tekstil (TPT).
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Keuangan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan mengatakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan telah sepakat memberlakukan BMPTPS untuk sejumlah produk tekstil selama 200 hari.
Menurutnya, langkah itu dilakukan sebagai langkah cepat untuk melindungi produk TPT dalam negeri dari tekanan lonjakan impor, di tengah upaya investigasi pemberlakuan safeguard yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Perdagangan Indonesia (KPPI).
“Mudah-mudahan [BMPTPS] bisa segera berjalan,” katanya ketika dihubungi Bisnis.com, Selasa (29/10/2019).
Kendati demikian dia tidak menyebutkan berapa besaran tarif yang diberlakukan terhadap produk TPT yang akan dikenai tindakan BMPTS.
Sementara itu Ketua KPPI Mardjoko mengatakan telah merekomendasikan kepada Menteri Perdagangan untuk memberlakukan BMPTPS selama 200 hari terhadap produk TPT pada bulan ini. Produk-produk yang diajukan oleh KPPI untuk diberlakukan BMTPS a.l. produk benang, kain dan tirai yang volume impornya melonjak sehingga membuat industri domestik mengalami kebangkrutan.
“Menteri Perdagangan sudah menyampaikan usulan pengenaan BMPTPS kepada Menteri Keuangan. Saat ini kami sedang menunggu PMK diterbitkan oleh Kemenkeu untuk menetapkan pemberlakuan BMTPS,” jelasnya.
Namun demikian, dia tidak dapat memastikan bahwa BPMTPS dapat diberlakukan pada November. Pasalnya, penentuan mulai berlakunya kebijakan perlindungan perdagangan tersebut bergantung kepada Kemenkeu.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswasta mengatakan rekomendasi pengenaan BMPTPS terhadap sejumlah produk TPT telah disetujui oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan BKF. Menurutnya, PMK mengenai BMPTS tinggal menunggu tanda-tangan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dia mengatakan berdasarkan informasi yang diperolehnya, pengenaan BMTPS terhadap produk TPT belum menjangkau produk serat dan garmen. Kebijakan tarif tersebut hanya akan diberlakukan kepada beberapa produk benang dan kain.
“Sejauh informasi yang kami dapatkan, besaran BMTPS ini sudah cukup mampu melindungi industri TPT kita. Namun untuk memulihkan kembali industri TPT, kami rasa belum bisa. Namun kami menyadari BMPTS ini sifatnya sementara, kami akan menunggu tarif final setelah investigasi KPPI selesai,” katanya.
Kendati demikian, dia mengklaim pengenaan bea masuk tambahan melalui kebijakan BMTPS tidak dihitung dalam bentuk persen, melainkan diberlakukan berdasarkan harga per kilogram (kg) masing-masing produk TPT.
Dari informasi yang dia dapatkan, kain mentah akan dikenai tambahan bea masuk Rp11.000/kg, kain jadi Rp30.000/kg dan benang pintal atau span akan dikenai bea masuk tambahan Rp1.400/kg.
“Untuk kain mentah dan kain jadi kami rasa sudah cukup layak besaran BMTPS yang dilakukan. Namun untuk benang pintal belum cukup layak,” katanya.
Pasalnya, apabila dihitung berdasarkan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk polyester staple fiber (PSF) yang diimpor Indonesia, sebesar 21% maka besaran tambahan bea masuk untuk benang span atau pintal yang ideal adalah sebanyak Rp 5.000/kg. Adapun PSF merupakan bahan baku benang pintal atau span.