Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Insentif Fiskal Bukan Segalanya

Salah satu insentif tersebut diperuntukkan kepada perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal. Selain untuk menarik investor, kebijakan tersebut juga dikeluarkan dalam rangka upaya pemerintah menstabilkan nilai mata uang.

Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menjanjikan pertumbuhan ekonomi negara dapat menembus angka 7%. Guna mencapai hal tersebut, ia pun meminta kepada jajaran menteri untuk membuat sejumlah insentif fiskal yang diharapkan dapat mendorong perekonomian Indonesia.

Insentif fiskal pertama pada masa pemerintahan Jokowi lahir pada 2015. Saat itu, Bambang P. S. Brodjonegoro yang menjabat sebagai Menteri Keuangan mengeluarkan sejumlah insentif perpajakan dalam rangka menarik investor ke Indonesia.

Salah satu insentif tersebut diperuntukkan kepada perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal. Selain untuk menarik investor, kebijakan tersebut juga dikeluarkan dalam rangka upaya pemerintah menstabilkan nilai mata uang.

Rentetan insentif fiskal ini juga dilanjutkan oleh pengganti Bambang P. S. Brodjonegoro, Sri Mulyani Indrawati saat terjadinya reshuffle kabinet. Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menelurkan sejumlah insentif fiskal, di antaranya adalah tax holiday untuk industri pionir, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP), dan beragam insentif untuk industri UMKM.

Namun, banyaknya insentif fiskal yang dikeluarkan pemerintah belum memiliki dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan menembus 7% saat ini ditargetkan pada posisi 5,08%, meskipun hal ini juga didorong oleh ketidakpastian global karena perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Industri manufaktur yang digadang-gadang menjadi “mesin” pertumbuhan Indonesia hingga kini masih ngadat. Selama 3 bulan terakhir, indeks PMI Manufaktur Indonesia berada di bawah angka 50. Meski mengalami kenaikan dari 49,0 ke 49,1 pada September, rata-rata PMI selama kuartal ketiga 2019 sebanyak 49,2 merupakan perolehan terendah sejak akhir 2016.

Insentif fiskal yang diharapkan dapat menarik Investor ke Indonesia pun tidak terbukti. Hal ini terlihat saat Jokowi memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/9/2019). Dalam kesempatan itu, Jokowi menyebut contoh bagaimana investor tidak memilih Indonesia sebagai negara tujuan investasinya. Pada 2 bulan lalu, ujar Jokowi, sebanyak 33 perusahaan memindahkan investasinya dari China.

"23 memilih di Vietnam. 10 lainnya perginya ke Malaysia, Thailand dan Kamboja. Enggak ada yang ke kita. Dari 33, sekali lagi, 33 perusahan di China yang keluar, saya ulang, 23 ke Vietnam, 10 ke Kamboja, Thailand dan Malaysia. Tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digarisbawahi, hati-hati, berarti kita punya persoalan yang harus kita selesaikan," ungkap Jokowi kala itu.

Rentetan pemberian insentif fiskal yang dimulai 2015 lalu dinilai belum seefektif yang dijanjikan. Menurut Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, efektivitas insentif yang masih minim salah satunya disebabkan oleh kurangnya kebijakan pendukung yang dikeluarkan pemerintah. Selama ini, pemerintah cenderung memfokuskan kebijakannya pada pemberian insentif fiskal.

Padahal, jelas Faisal, permasalahan yang meliputi dunia usaha atau investasi amat kompleks dan tidak hanya bergantung pada pemberian insentif fiskal. Hingga kini, ia belum melihat penggunaan pendekatan yang komprehensif dari pemerintah untuk mengkaji permasalahan yang melanda sektor usaha.

Ia mengatakan, pemberian insentif fiskal merupakan bentuk kemudahan pada hilir usaha. Seharusnya, pemerintah juga memberikan insentif-insentif yang jelas pada sektor hulu usaha. Kombinasi kedua hal tersebut akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan efektivitas insentif fiskal.

"Permasalahan dunia usaha sangat beragam, mulai dari aspek pendanaan, bahan baku, tenaga kerja, biaya energi, pembebasan lahan, dan lain-lain," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri. Menurutnya, pemerintah seringkali mendorong kepentingan perekonomian nasional tanpa memperhatikan kondisi atau permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha.

Ia menilai, pemerintah terlalu fokus pada pengeluaran kebijakan insentif fiskal. Sementara itu, regulasi-regulasi yang memberatkan belum terlalu diperhatikan. Pemerintah pun baru bergerak mengatasi masalah ini dengan merencanakan omnibus law yang dibahas sejak 2 bulan lalu.

"Kalau tidak sejalan [dengan dunia usaha], insentif fiskal itu tidak akan memiliki efek apapun untuk negara," kata Yose.

Kurangnya sinkronisasi antara pemerintah dan dunia usaha berakibat pada munculnya insentif fiskal yang tidak tepat sasaran.Yose juga menambahkan, insentif fiskal yang dirilis pemerintah juga cenderung tidak menarik dan membuat kebijakan ini sepi peminat.

“Sebelum mengeluarkan insentif fiskal lebih banyak lagi dan berisiko sepi peminat, lebih baik regulasi-regulasinya dibenahi terlebih dahulu. Setelah itu, insentif yang lebih efektif dapat dibahas. Karena insentif fiskal itu faktor kesekian yang dipikirkan investor sebelum memutuskan datang ke Indonesia,” imbuh Yose.

Terkait salah satu insentif fiskal, yaitu tax holiday, Deputi Makro Kemenko Perekonomian Iskandar Simonangkir mengatakan hingga September 2019, sudah ada 43 investor yang disetujui untuk mendapatkan insentif tersebut.

Nilai investasi keseluruhan para investor tersebut mencapai Rp513 triliun yang berasal dari 11 negara, contohnya adalah Korea dan China. Ia juga menambahkan, beberapa dari investasi tersebut sudah ada yang memulai proses pembebasan lahan.

"Itu tidak pernah ada sejarahnya. Dulu sebelum tax holiday itu hanya satu, bahkan ada yang 0 realisasinya dalam 1 tahun," jelasnya.

Menurutnya, kunci realisasi investasi ini terletak pada sisi keamanan negara. Iskandar mengatakan saat ini investor tengah memonitor kondisi sosial politik Indonesia dengan Intensif.

"Investor asing yang datang ke Kemenko Perekonomian selalu menanyakan hal ini [keamanan] setiap mereka datang," tambah Iskandar.

Kecepatan

Selain minim sinkronisasi, Faisal juga melihat eksekusi pemberlakuan insentif fiskal masih terbilang lambat. Umumnya, pemerintah akan mengumumkan rencana pemberian insentif terlebih dahulu kepada masyarakat.

Namun, pengumuman ini umumnya tidak dibarengi dengan keabsahan insentif tersebut. Saat ini, kelengkapan perangkat atau mekanisme pemberian insentif biasanya baru dikeluarkan beberapa waktu setelah pengumuman pemberian insentif.

Lambatnya kecepatan pemerintah menggodok insentif ini menyebabkan munculnya kebingungan di tengah-tengah para investor. Akibatnya, muncul ketidakpastian soal pemberian insentif yang turut berdampak pada berkurangnya investor yang datang ke Indonesia.

"Contohnya seperti insentif pajak korporasi yang akan dikeluarkan pada 2021 mendatang. Belum aja penjelasan pemerintah apakah tahun 2021 sudah langsung dapat diterapkan atau baru akan dibahas pada 2021. Inilah yang menciptakan ketidakpastian," pungkas Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper