Bisnis.com, JAKARTA – Selama 5 tahun terakhir, Bank Indonesia sudah menjalin relasi yang baik dengan pemerintah selaku pemangku kebijakan fiskal.
Menurut SVP Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto, dalam 5 tahun terakhir, Bank Indonesia selaku otoritas kebijakan moneter sudah merespons kebijakan fiskal dengan tepat sasaran. Hal ini terlihat dari langkah BI yang selalu lebih awal dalam menjawab rancangan kebijakan fiskal.
“Belajar dari perjalanan BI selama 5 tahun terakhir, sebaiknya standing BI terus ahead the curve, sehingga antisipatif dan responsif, tidak reaktif semata,” kata Ryan, Senin (14/10/2019).
Dia menambahkan, koordinasi BI selama ini secara khusus dengan Kementerian Keuangan harus ditingkatkan dalam 5 tahun ke depan. Hal ini adalah strategi untuk menyinergikan dan mengharmonisasikan kepercayaan publik dan pasar.
“Posisi BI menjadi lebih strategis di tengah economic uncertainty saat ini dan waktu-waktu yang akan datang,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana, menyatakan kemajuan yang dihasilkan BI perlu diapresiasi meski belum memberi dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi. Dia menilai, perubahan suku bunga acuan yang sebelumnya tidak menyangkut ke instrumen moneter, atau imajiner kini bisa langsung ditransmisikan melalui BI 7 Days Repo Rate.
Meskipun defisit transaksi berjalan juga belum membaik signifikan, Wisnu menilai 5 tahun terakhir, BI mewarisi sejumlah kondisi yang kurang menguntungkan setelah 2008. Hal ini mengingat kejayaan Indonesia mengandalkan harga komoditas batu bara mulai mengalami pelemahan, alhasil defisit kian melebar.
Dia menilai, kondisi perekonomian Indonesia 5 tahun terakhir sangat penuh tantangan, sehingga pencapaian pada kisaran 5% tidaklah buruk.
“2017, dan 2018, 2019 ini fokus BI masih di nilai tukar rupiah, sementara untuk defisit transaksi berjalan masih kurang,” katanya.
Wisnu menyarankan ke depan, BI perlu memperhatian defisit transaksi berjalan sebagai bagian dari upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bisnis.com mencatat, ada sejumlah langkah yang dilakukan BI. Misalnya, pada 2015 BI ikut membentuk tim pengendali inflasi nasional dan deaerah. BI juga melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder, melakukan intervensi untuk menjaga volatilitas kurs pada level yang aman, mengubah mekanisme lelang reverse repurchase agreement (repo) atau penjualan SBN milik BI ke bank, dari variable rate tender menjadi fix rate tender.
BI juga menyesuaikan frekuensi lelang Foreign Exchange (FX) Swap dari 2 kali seminggu menjadi 1 kali seminggu. Tahun yang sama, BI juga mengubah mekanisme lelang Term Deposit (TD) Valas dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, menyesuaikan pricing, dan memperpanjang tenor sampai dengan 3 bulan.
Pada 2016, Bank Indonesia menggunakan BI 7 Day RR Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI Rate. Lalu pada 2017 Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.19/11/PBI/2017 mengenai Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal atau Local Currency Settlement melalui bank.
Tahun yang sama, Bank Indonesia menerbitkan aturan Surat Berharga Komersial untuk pendalaman pasar keuangan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.
Pada 2018, Bank Indonesia menaikkan porsi pemenuhan Giro Wajib Minimum Rupiah Rerata konvensional dan syariah, dari 2% menjadi 3%. BI juga lantas meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial/PLM yang konvensional dan syariah, yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dari 2% menjadi 4%, masing-masing dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
Tahun yang sama, Bank Indonesia mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0% dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada target kisaran 80%-92%. Bank Indonesia menerbitkan aturan transaksi derivatif suku bunga rupiah, yaitu Interest Rate Swap (IRS) dan Overnight Index Swap (OIS), dan juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non Deliverable Forward.
Tahun ini, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 21/7/PBI/2019 tentang Perubahan atas PBI Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non Deliverable Forward. Bank Indonesia juga mengatur Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) atau RIM Syariah disempurnakan dengan menambahkan komponen pinjaman atau pembiayaan yang diterima bank, sebagai komponen sumber pendanaan bank dalam perhitungan RIM/RIM Syariah.
Pada Rapat Dewan Gubernur September 2019, Bank Indonesia juga melakukan pelonggaran yakni; Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan Properti sebesar 5%, Uang Muka untuk Kendaraan Bermotor pada kisaran 5% sampai 10%, serta Tambahan keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan Uang Muka untuk Kendaraan Bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing sebesar 5%. Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/11/PBI/2019 Tentang Penyelenggaraan Central Counterparty Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar Over-The–Counter.