Bisnis.com, JAKARTA — Percepatan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah dari Januari 2022 ke Januari 2020 membuat pemerintah perlu memperketat pengawasan terkait harga jual domestik.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai langkah pemerintah yang mengeluarkan aturan percepatan pelarangan ekspor bijih pasti akan berpengaruh pada sebagian perusahaan yang tengah membangun smelter.
Namun, lanjutnya, bagi perusahaan yang pendanaannya tak mengandalkan keuntungan dari ekspor bijih nikel, tidak akan terlalu terdampak. “Biasanya pendanaan untuk pembangunan smelter itu sudah didapatkan sebelum pembangunannya. Sejauh mana pengaruhnya harus dilakukan kajian detail untuk itu,” katanya, Rabu (2/10/2019).
Dia menambahkan perusahaan nikel masih bisa menjual bijihnya di dalam negeri. Hanya saja, dia mengingatkan agar pemerintah menjaga harga jual nikel agar tidak merugikan penambang.
“Kalau harga dimonopoli [perusahaan smelter], tentu menyebabkan kerugian penambang yang dampaknya akan mengurangi faktor keselamatan kerja dan lingkungan,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2020 mendatang akan ada 16 smelter atau fasilitas pemurnian nikel yang beroperasi. Jumlah tersebut akan melonjak jadi 37 pada 2021. Jumlah smelter ini meningkat pesat bila dibandingkan akhir 2014 yang hanya ada tiga unit smelter nikel.
Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Andri Budhiman Firmanto mengatakan pembangunan smelter tetap berjalan meski ekspor bijih nikel dilarang mulai tahun depan.
“Bangun tetap, tetapi insentifnya dibatasi hanya di 2019 saja. Pembangunan ini silakan berjalan, tetapi tidak ada lagi insentif,” ujarnya.
Dia menilai hasil ekspor bijih nikel tidak hanya untuk kegiatan operasionalnya saja. Sementara itu, kepastian pembiayaan sudah diperoleh pada tahap awal pembangunan.