Bisnis.com, JAKARTA — Percepatan larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah dari Januari 2022 menjadi Januari 2020 dinilai tak mengganggu pembangunan smelter para eksportir secara signifikan.
Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Andri Budhiman Firmanto mengatakan pembangunan smelter tetap berjalan meski ekspor bijih nikel dilarang mulai tahun depan.
“Bangun tetap, tetapi insentifnya dibatasi hanya di 2019 saja. Pembangunan ini silakan berjalan, tetapi tidak ada lagi insentif,” ujarnya, Rabu (2/102019).
Dia menilai hasil ekspor bijih nikel tidak hanya untuk kegiatan operasionalnya saja. Sementara itu, kepastian pembiayaan sudah diperoleh pada tahap awal pembangunan.
“Pembangunan smelter kalau sudah finansial close itu sudah tinggal saja, enggak ada masalah. Dari 30-an smelter yang akan dibangun, 10-nya sudah di atas 30%, ini sudah finansial closing,” katanya.
Direktur Operasi dan Produksi PT Antam Tbk. Hartono mengatakan meski dilakukan pelarangan ekspor bijih nikel mulai awal tahun depan, Antam yakin pembangunan smelter feronikel di Halmahera Timur akan tetap selesai tepat waktu dan beroperasi pada 2020.
“Dari cash flow untuk pembuatan smelter kan sudah selesai 97%, jadi tidak ada pengaruhnya dengan pemberhentikan ekspor ore nikel,” ucapnya.
Adapun hingga saat ini, ekspor bijih nikel Antam telah mencapai 3,9 juta ton atau sekitar 75% dari yang ditargetkan tahun ini sebanyak 5,2 juta ton. “Kuotanya 5,2 juta ton, kemungkinan akan tercapai. Saat ini sudah 3,9 juta ton.”
Senada, Direktur Keuangan PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) Bernardus Irmanto berpendapat bisnis Vale tak akan terganggu dengan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Pasalnya, Vale tidak pernah meng ekspor bijih nikel karena telah memiliki smelter yang menghasilkan nikel matte dengan kadar 78%.