Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan meluncurkan Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker), sebuah ekosistem digital yang menjadi platform bagi segala jenis layanan publik dan aktivitas terkait ketenagakerjaan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri menyebut peluncuran Sisnaker merupakan salah satu upaya pihaknya dalam mewujudkan pelayanan terpadu satu pintu atau single service. Dia menilai, selama ini pelayanan publik yang diberikan oleh Kemenaker masih belum efisien lantaran harus dilakukan secara terpisah atau tidak ada integrasi antar unit atau kementerian/lembaga terkait
"Kami ada lebih dari 85 website beragam informasi. Ibarat pintu, pintunya banyak sekali. Kalau orang masuk ke beberapa layanan, masuknya berkali-kali, itu [jadi] tidak efisien," katanya usai meluncurkan Sisnaker di Gedung Kemenaker, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Hanif berharap kehadiran Sisnaker semakin mempermudah masyarakat untuk mengakses seluruh pelayanan Kemnaker yang berjumlah 16 layanan. Adapun layanan tersebut adalah layanan pelatihan kerja, pemagangan, penggunaan tenaga kerja asing, wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan, sertifikasi, dan Karirhub.
Kemudian layanan Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), produktivitas, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama (PKB), izin Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Sistem Manajemen Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (SMK3), serta bantuan yang seluruhnya bisa bisa diakses melalui laman web www.kemenaker.go.id.
"Semua ini akhirnya dilakukan secara terintegrasi dengan kementerian/lembaga terkait. Saya minta seluruh jajaran di Kemenaker untuk segera menyelesaikan proses integrasinya. Jangan sampai ada platform yg beda-beda," tegas Hanif.
Menurut Hanif, ekosistem ketenagakerjaan di Tanah Air selain tidak efisien juga sangat kaku. Hal tersebut membuat Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya.
"[Sebanyak] 33 perusahaan relokasi dari China tidak ada yang ke Indonesia, daya saing kita kalah. Salah satunya faktor daya saing ini adalah ekosistem tenaga kerja yang terlalu kaku," ungkapnya.
Hanif menambahkan selama ini investor atau pelaku usaha di dalam negeri mengalami kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang terampil atau punya keahlian di bidangnya masing-masing. Pasalnya, saat ini lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih mendominasi angkatan kerja dengan persentase mencapai 58%.
Hanif pun mengaku dirinya sering menemukan keluhan terkait dengan hubungan industrial seperti masalah upah minimum dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pendeknya saya ingin katakan, [Kemenaker] perlu mentransformasikan ekosistem tenaga kerja [di Indonesia] agar lebih fleksibel,” pungkasnya.