Bisnis.com, JAKARTA -- Kebutuhan batu bara dalam negeri terutama untuk pembangkitan kemungkinan masih akan mendominasi karena kontrak perjanjian jual beli listrik (PJBL) PLTU yang masih berlangsung hingga 2040 ke atas.
Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan apabila kontrak PJBL PLTU dimulai pada 2020 dengan masa berlaku rata-rata 25 tahun, maka PLTU kemungkinan masih mendominasi hingga 2045. Hingga kuartal I/2019, bauran PLTU yakni 61,82 persen.
Berdasarkan RUPTL 2019-2028, pada 2025, bauran batu bara sebagai energi pembangkitan ditarget minimal 30 persen. Porsi batu bara pada 2025 akan semakin berkurang dengan masuknya peran energi baru dan energi terbarukan yang paling sedikit memiliki porsi 23 persen untuk pembangkitan sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Sementara, porsi minyak bumi ditarget kurang dari 25 persen dan gas bumi minimal 22 persen.
Baru pada 2050, porsi batu bara ditarget tidak lagi dominan dibanding energi lain. Setidaknya, porsi batu bara untuk pembangkitan pada 2050 adalah minimal 25 persen. Energi yang mendominasi adalah EBT dengan porsi paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Bauran energi lainnya yakni gas bumi minimal 24 persen dan minyak bumi kurang dari 20 persen.
Menurutnya, hingga saat ini konsekuensi pengembangan pembangkit EBT adalah harga listrik yang mahal. Apabila teknologi semakin berkembang kemungkinan saja harga listrik murah dapat dicapai dengan pembangkit EBT.
"Tahun 2025 komposisi 23 persen [EBT untuk pembangkitan berdasarkan RUPTL 2019-2028]. Mahal [tarif listrik] kalau bersih kan sehat," katanya kepada Bisnis, Rabu (25/9/2019) malam.
Menurutnya, PLN terus berupaya untuk mengembangkan pembangkit EBT salah satunya dengan menggelar diskusi mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Selain itu, dia mengharapkan pemerintah memberikan jaminan fiskal mengenai pengembangan EBT sehingga baurannya bisa meningkat. Sementara itu, PLTU yang ijinnya telah habis, masih bergantung pada keputusan pemerintah untuk melanjutkan atau tidak. Pasalnya, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) diterbitkan oleh pemerintah.
"Kalau kontrak sudah habis,saya pikir ijinnya juga sudah habis," katanya.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Barat PLN Haryanto W.S. mengatakan hingga saat ini PLN masih menggunakan pembangkit-pembangkit yang efisien dan murah. Selama pembangkit EBT tersebut bisa menghasilkan listrik dengan harga yang kompetitif akan terus didorong pengembangannya.
Begitu juga dengan PLTU tetap akan digunakan karena masih menghasilkan listrik murah. Apalagi, teknologi PLTU juga akan terus berkembang sehingga akan tetap kompetitif.
"Kita yan punya Sumber daya alam, sesuai kearifan lokal dan ekonomi, kita gunakan yang ada agar tetap eksis. Yang kita bangun sekarang adalah pembangkit-pembangkit yamg efisien dan murah," katanya kepada Bisnis, rabu (25/9/2019) malam.
Executive Vice President Energi Baru dan Terbarukan (EBT) PLN Zulfikar Manggau mengatakn hingga saat ini rencana penambahan pembangkit EBT sesuai RUPTL berlaku adalah sebesar 23 persen pada 2025. Meskipun PLN akan terus menambah bauran EBT untuk pembangkitan ke depannya.
Dengan teknologi yang semakin maju, masih memungkin porsi EBT untuk pembangkitan akan bertambah. Sebab. masalah intermiten pembangkit surya dan angin dapat diatasi dengan battery storage.
"Bisa saja dengan menyiapkan infrastruktur dan sistem yang mampu mengatasi persoalan intermitten. Apalagi jika teknologi battery storage semakin murah," katanya.
Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan hingga 2040, PLTU masih akan diperlukan karena masih bisa menjamin keandalan listrik saat beban tinggi di sistem yang besar.
"Namun untuk sistem yang kecil kemungkinan pengembangan EBT akan lebih dominan," katanya.
Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan secara global tren investasi PLTU akan menurun. Apalagi keekonomian energi terbarukan seperti PLTS dan PLT Bayu juga semakin kompetitif dan di banyak negara harga energi terbarukan sudah grid parity atau sama dengan BPP PLN. Bahkan, lebih murah dari PLTU.
"Sudah ada sejumlah negara yang menyatakan tidak lagi membangun PLTU, bahkan sudah mentargetkan untuk menutup PLTU dalam satu dekade mendatang," katanya.
Menurutnya, agar pengembangan EBT meningkat, perlu diterapkan reverse auction atau lelang terbalik untuk PLTS dan PLTB berkapasitas di atas 10 MW. Saat ini PLTU batubara masih mendapat pinjaman dengan bunga rendah yakni sekitar 2 smapai 3 persen dan tenor di atas 10 tahun untuk PPA 30 tahun.
"Kalau EBT mau murah makanya perlu dapat pinjaman dengan bunga di bawah 5 persen. Selain itu perlu regulasi yang membuat proyek bankable," katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara (APBI) Hendra Sinadia meyakini dengan usia PLTU di atas 25 tahun, hingga 2045 PLTU masih akan beroeprasi di Indonesia. Apalagi, masih ada sejumlah proyek PLTU di program 35.000 MW.
Tetapi, jika ternyata EBT semakin mendominasi, dan kebutuhan batu bara untuk pembangkitan emnurunan, pengusaha akan melihat outlook pasar. Seperti misalnya beralih pada investasi hilirisasi batu bara yang nantinya akan semakin ekonomis.
"Setahu saya pembangunan PLTU di Asia Tenggara bakal marak termasuk di Indonesia dan Vietnam," katanya.