Bisnis.com, JAKARTA — Implementasi sistem pembelian tebu (SPT) model beli putus yang simpang siur oleh pabrik gula (PG) yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN) membuat sebagian petani memilih menjual tebu produksinya ke PG swasta.
Penawaran harga yang menjanjikan dan sistem pembayaran yang jelas disebut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen sebagai alasannya.
Dia menyebutkan sejumlah PG swasta bisa menawarkan tebu petani dengan harga Rp70.000 per kuintal. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang ditetapkan pemerintah Rp51.000 per kuintal untuk tebu dengan rendemen 7%.
“Petani lebih suka menjual tebunya ke pabrik gula yang dikelola swasta karena memenuhi selera dari segi harga. Hari ini pabrik swasta ada yang membeli sampai Rp85.000 per kuintal tebu kalau sampai ke pabrik. Kalau di kebun sendiri, masuk truk itu sudah dihargai Rp70.000 per kuintal,” kata Soemitro saat dihubungi Bisnis, Senin (23/9/2019).
Soemitro mengemukakan petani seharusnya tak perlu dipusingkan dengan tingkat rendemen bila transaksi yang dilakukan bersifat beli putus. Menurutnya, perhitungan rendemen seharusnya menjadi urusan pabrik dan petani sudah bisa menerima pembayaran dengan jelas di bawah sistem tersebut.
Dia pun mengkritisi label beli putus tak murni yang diterapkan sejumlah PG BUMN. Dia mengaku belum mengetahui nilai tebu yang dijual ke PG beserta kepastian waktu pembayaran.
Berdasarkan informasi, Soemitro bahkan harus menunggu sampai masa lelang gula tiba untuk memperoleh pemasukan dari tebu yang dikelola di lahannya.
“Misal, bagi putus begitu masuk, tebu saya seharusnya sudah ada harganya. Kalau beli putus pun pembayarannya harus jelas kapan, misal di pabrik swasta itu ada yang seminggu dua kali pembayaran, rutin. Ada yang seminggu sekali. Paling tidak dalam seminggu sudah ada pemasukan,” ujarnya.