Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menilai penghapusan bea masuk untuk bahan baku impor biji kakao menjadi insentif yang bakal berdampak signifikan bagi pertumbuhan sektor tersebut.
“Yang sangat berdampak untuk mendorong pertumbuhan industri adalah penghapusan bea masuk biji kakao 5%,” ujar Pieter Jasman, Ketua Umum AIKI kepada Bisnis, Selasa (17/9/2019).
Dia menjelaskan saat ini industri pengolahan kakao masih kekurangan bahan baku. Kebutuhan itu pun akhirnya dipenuhi dengan langkah importasi. Pada 2018, katanya, Indonesia mengimpor 239.377 ton biji kakao.
Sementara itu, kata Pieter, sejumlah negara yang mendapatkan fasiltias bea masuk 0% untuk ekspor produk olahannya ke Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, tidak bisa memasok pasokan biji kakao.
“Rata-rata di banyak negara yang ada industri pengolahan kakao, maka impor biji kakao [dikenakan bea masuk] 0%, seperti Eropa, Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura,” ujarnya.
Pieter berharap pemerintah memberikan fasilitas serupa kepada sejumlah negara penghasil biji kakao lainnya. Menurutnya, Pantai Gading, Ghana, Kamerun, Nigeria, dan Equador merupakan sejumlah negara dengan produksi biji kakao yang signifikan di dunia.
Terkait usulan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% untuk produk olahan, Pieter mengatakan pihaknya sudah mengajukan hal serupa sejak lama. Kendati begitu, realisasinya belum tampak hingga saat ini.
Dia menilai fasilitas tersebut tidak akan berdampak signifikan bagi pelaku industri pengolahan. Namun, kebijakan itu bakal berdampak bagi petani kakao.
“Sebenarnya dampak bagi industri tidak terlalu besar. Justru PPN itu menjadi beban bagi petani, sehingga diusulkan untuk dihapus,” ujarnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai pemberian insentif berupa PPN 0% bagi produk hasil olahan kakao bakal memacu pengembangan industri.
Langkah itu perlu dilakukan mengingat pemberlakuan Asean Free Trade Area (AFTA) memberikan ruag bagi masuknya produk olahan dari sejumlah negara di Asia tenggara dengan bea masuk 0%.
“Sayangnya dengan pemberlakuakn AFTA, tidak ada [negara Asia Tenggara] yang penghasil biji kakao,” katanya.