Bisnis.com, JAKARTA—Pascapenurunan suku bunga dari Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), arus modal asing (foreign capital inflow) diperkirakan bakal membanjiri negara berkembang termasuk Indonesia.
Kepala Makro ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjelaskan, arus dana asing yang berpotensi masuk ke Indonesia bakal memperpanjang kenaikan harga (reli) di pasar surat utang negara (SBN).
Budi menilai, posisi Indonesia saat ini dilema karena masih mengalami defisit neraca berjalan yang menunjukkan dukungan sektor riil untuk menopang penguatan rupiah relatif terbatas.
“Penguatan rupiah akibat arus masuk modal asing harus diantisipasi dengan mempercepat reformasi struktural, memperkuat produktivitas, dan daya saing sektor manufaktur dan pariwisata. Penguatan rupiah dan polemik perang dagang Amerika Serikat dan China memungkinkan peredaran limpahan barang dan jasa luar negeri sulit dibendung,” kata Budi Hikmat melalui siaran pers, Senin (16/9/2019).
Lebih lanjut, Budi mengingatkan, kondisi “kelebihan likuiditas” global ini jangan sampai membuat Indonesia terjebak utang seperti yang terjadi di Brazil.
Adapun, Brazil masih berusaha keluar dari jebakan middle income trap selama 23 tahun dengan berutang dan memanfaatkan aksi pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) sejak 2008. Hal itu telah membuat debt to GDP Brazil melonjak menjadi 84% dari sebelumnya 37%.
Budi memaparkan, pengalaman Brazil tersebut menjadi pengingat 3 jenis risiko apabila suatu negara memacu pemulihan dengan berutang dari luar.
Pertama, currency risk terutama ketika dolar AS melemah sejak pertengahan 2014.
Kedua, interest rate risk yang terjadi setelah The Fed mengindikasikan tapering off pada 2013 dan baru meningkatkan sejak 2015 dan mengetatkan likuiditas pada 2018.
Ketiga, income risk terkait dengan penurunan harga komoditas minyak yang mana Brazil merupakan produsen minyak yang cukup besar.
“Sebagai akibat kombinasi ketiga risiko ini, Brazil mengalami dua tahun stagflasi yang menyebabkannya kehilangan status layak investasi,” imbuh Budi.
Adapun, pekan lalu ECB kembali melakukan aksi QE dengan memangkas suku bunga sebesar 10 bps menjadi -0,5%.
Suku bunga rendah tersebut diharapkan dapat mencegah perlambatan ekonomi yang terjadi akibat perang dagang dan ketidakpastian Brexit. Sementara itu, inflasi tetap diharapkan dapat bergerak mendekati target 2%.
Sementara itu, inflasi pada bulan lalu telah melambat 1%. Dengan demikian, aksi QE akan dimulai pada November, yaitu ECB bakal membeli surat utang senilai 20 miliar euro setiap bulan hingga periode yang belum ditentukan.
Tambahan likuiditas bank sentral itu itu diyakini tidak akan memacu inflasi mengingat tidak digunakan untuk belanja melainkan untuk membayar utang.
Selain itu tren inflasi juga terjaga rendah di Eropa mengingat perluasan penggunaan teknologi e-commerce yang memangkas biaya intermediasi.
Di samping itu, kenaikan harga energi minyak yang dulu biasa memicu inflasi dibatasi oleh melimpahnya pasokan yang tidak hanya berasal dari produsen OPEC melainkan dari produsen Shale-gas.
Selanjutnya, Budi menambahkan, kombinasi dari kelebihan likuiditas dan risiko perlambatan ekonomi global memicu aksi flight to safety para investor menuju obligasi negara sehingga menyebabkan imbal hasil negatif.
Kondisi ini menunjukkan obligasi negara, terutama yang bertenor panjang, terbilang mahal. Sebagai akibatnya, tambahan likuiditas kemudian memicu kenaikan harga aset lain (reflation), seperti bitcoin dan emas serta obligasi negara sejumlah negara berkembang.