Bisnis.com, JAKARTA – Ruang pertumbuhan industri pengolahan kakao, terutama di sektor hilir, masih terbuka sebab konsumsi cokelat dalam negeri yang masih minim.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan saat ini rata-rata konsumsi cokelat masyarakat Indonesia masih mencapai 0,5 kg per orang per tahun. Volume itu dinilai lebih rendah dengan sejumlah negara lain.
Padahal di Singapura dan Malaysia, katanya, konsumsi cokelat sudah mencapai 1 kg per orang per tahun. Bahkan, di Eropa konsumsinya lebih dari 8 kg per orang per tahun.
“Ruang pertumbuhannya masih luas,” ujarnya ketika membuka kegiatan Peringatan Hari Kakao Indonesia 2019 dengan tema Bangga Cokelat Indonesia, di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Menperin menjelaskan Indonesia saat ini menjadi negara dengan kapasitas produksi terbesar ketiga untuk pengolahan kakao. Industri nasional menghasilkan hasil olahan kakao berupa bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, kosmetik dan farmasi.
Produk – produk tersebut pada 2018 diekspor dengan volume sebesar 328.329 ton atau sekitar 85% dari total produksi. Menperin menyatakan ekpor itu menyumbang devisa hingga US$ 1,13 miliar.
Selebihnya, yakni 58.341 ton atau sekitar 15% lainnya, produk kakao olahan dipasarkan di dalam negeri sebesar. “Memang permintaan cokelat dari luar negeri besar,” ujarnya.
Namun, produk kakao olahan yang dihasilkan pada umumnya masih dalam bentuk setengah jadi. Airlangga mengatakan banyak produk makanan berbasis cokelat justru diproduksi negara-negara yang bukan produsen biji kakao seperti Belgia, Belanda, Perancis, dan Jepang.
Alhasil, nilai tambah produk olahan kakao lebih banyak dinikmati oleh negara lain dari pada di dalam negeri. Oleh karena itu, Airlangga mengatakan pemerintah mendorong pengembangan industri hilir kakao, yaitu makanan berbasis kakao dan cokelat.