Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan menegaskan bahwa rencana penaikan cukai hasil tembakau sekitar 23 persen pada 2020 karena tak ada penaikan cukai rokok pada 2019.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan, rerata penaikan cukai hasil tembakau sekitar 10 persen setiap tahun, tetapi pada 2019 tak terjadi penaikan.
Dengan begitu, pelaku industri menilai seolah-olah terjadi penaikan yang signifikan.
"Pertimbangan tentunya dari tiga hal utama. Pertama, pengendalian konsumsi, baik dari legal dan ilegal. Meskipun rokok ilegal juga jauh berkurang sampai 3 persen, tetapi masih tetap harus dihitung," ungkapnya di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Kedua, terkait dengan turunan industri. Rancangan beleid ini juga akan menghitung dampak yang dirasakan oleh petani tembakau, cengkih dan pekerja logistik termasuk peritel yeng menjual rokok. Dan yang ketiga adalah penerimaan negara.
Heru menegaskan kembali, ketiga pertimbangan tersebut bakal digabungkan dengan fakta bahwa pada 2019 tak ada kenaikan cukai, sehingga secara hitung-hitungannya tampak ada 2 kali lipat penaikan.
Aturan yang tengah digodok oleh Kementerian Keuangan bakal memperhatikan golongan, jenis dan konten dari rokok.
Cukai hasil tembakau akan dikenakan lebih tinggi pada rokok yang memiliki komponen impor tinggi.
"Ini semua dipertimbangkan secara komprehensif dan kompleks, tetapi intinya, pertama, pemerintah memberikan perhatian kepada industri yang padat karya, sehingga korelasinya, tarif sigaret kretek tangan (SKT) pasti akan lebih rendah dari padat modal," tutur Heru.
Pertimbangan kedua, rokok yang memiliki konten lokal lebih tinggi tentu akan diperhatikan oleh pemerintah melalui kebijakan tarif dibandingkan dengan rokok-rokok yang menggunakan konten impor.
Dia menambahkan, Kemenkeu kini tengah meramu detail kebijakan tarif dan harga banderol ini, dengan rata-rata kenaikan untuk tarif 23 persen dan banderol 35 persen.