Bisnis.com, JAKARTA— Indonesia berpeluang memgamankan 80% akses pasar ekspor global melalui penyelesaian 10 pakta kerja sama ekonomi dan perdagangan pada tahun ini.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menargetkan dapat menyelesaikan proses negosiasi 10 perjanjian dagang dan kerja sama ekonomi pada tahun depan. Jumlah perjanjian yang ditargetkan selesai pada tahun depan itu, menambah 10 pakta yang sudah selesai dinegosiasikan hingga Agustus 2019.
“Memang untuk implementasinya butuh waktu lama, karena proses ratifikasi itu panjang dan memakan waktu lama. Namun, paling tidak pada tahun depan kita sudah dapat gambaran bahwa 80% akses pasar ekspor sudah kita pegang dari pakta dagang tersebut. Terutama jika RCEP selesai, 45% akses pasar sudah pasti ada di tangan kita,” jelasnya, belum lama ini.
Dia mengharapkan, penyelesaian negosiasi sejumlah pakta dagang tersebut dapat memberikan kepastian bagi kalangan usaha untuk berekspansi, terutama yang berbasis ekspor. Dengan demikian, lanjutnya, kinerja perdagangan Indonesia akan membaik kendati mengalami tekanan dari sisi global.
Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan, pada tahun depan 10 perjanjian dagang dan kerja sama ekonomi ditargetkan selesai negosiasinya.
Perjanjian dagang dan kerja sama tersebut a.l. Indonesia-Maroko Preferential Trade Agreement, Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement, Indonesia-Sri lanka, Indonesia-Djibouti Preferential Trade Agreement, dan Indonesia-Selandia Baru Comprehensive Economic Partnership Agreement.
Selain itu, adapula kerja sama Indonesia-Gulf Cooperation Council (GCC), Indonesia-South Africa Custom Union (SACU), Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement, Indonesia-East Africa Community Preferential Trade Agreement dan Indonesia-Eurasian Economic Union.
”Sementara itu, hingga akhir tahun ini, target kami menyelesaikan Indonesia-Korea Selatan Comprehensive Economic Partnership Agreement, Indonesia-Taiwan Trade in Goods Agreement, dan RCEP, “ ujarnya.
Bagaimanapun, keuntungan yang diperoleh Indonesia dari pembentukan perjanjian dagang tersebut bisa berdampak terbatas apabila tidak direspons secara maksimal oleh pelaku usaha.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menjabarkan, berdasarkan riset yang dimilikinya, tingkat utilitas pakta dagang bebas dan kerja sama ekonomi yang dijalin oleh Indonesia selama ini hanya mencapai 30%--40%.
Hal itu menandakan, masih terbatasnya respons para pelaku usaha, terutama yang berbasis ekspor untuk memanfaatkan peluang yang tersedia dari perjanjian dagang yang dimiliki RI.
“Terkait dengan respons pengusaha terhadap pakta dagang yang tersedia, hal ini yang menjadi pekerjaan rumah besar. Masih banyak pengusaha yang tidak mendapatkan informasi lengkap mengenai opportunity yang bisa mereka peroleh dari pakta dagang,”ujarnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Menurutnya, ketidaktahuan mengenai potensi yang diperoleh dari pakta dagang juga dialami oleh pengusaha besar, meskipun mayoritas dialami oleh pengusaha kecil dan menengah. Untuk itu, dia mendesak adanya sosialisasi masif dan mendalam dari pemerintah dan asosiasi pengusaha di Indonesia mengenai potensi yang dapat diperoleh dari pakta dagang.
Di sisi lain, dia mengatakan, selama ini para pengusaha Indonesia cenderung merasa inferior dengan adanya pakta dagang bebas dan kerja sama ekonomi yang dijalin pemerintah. Para pelaku usaha, justru ketakutan daya saing produknya menjadi turun apabila terdapat penurunan tarif impor dari negara mitra.
Selain itu, dia menyebutkan, akses pasar ekspor Indonesia akan terbuka lebar melalui penurunan tarif ekspor dalam pakta dagang yang dijalin RI. Namun demikian, para pengusaha RI bisa terkendala dalam proses ekspornya lantaran meningkatnya tren penerapan hambatan nontarif.
“Negara seperti Australia, China dan yang tergabung di Uni Eropa, saat ini sedang gencar menerapkan hambatan nontarif. Tentu hal ini akan menjadi kendala bagi kita meskipun telah memiliki perjanjian dagang dengan negara-negara tersebut,” jelasnya.
Mantan Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu mengatakan, selesainya perundingan pakta dagang dan kerja sama ekonomi yang dijalin Indonesia, seharusnya menjadi kepastian bisnis baru bagi pelaku usaha, terutama yang berbasis ekspor.
Dia mengatakan, proses yang ratifikasi perundingan dagang yang biasanya berdurasi panjang, seharusnya menjadi kesempatan bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. Dia mengatakan, apabila pakta dagang dan kerja sama ekonomi komprehensif RCEP selesai, maka akan membuka minimal 45% dari akses pasar produk RI di luar negeri.
“Sekarang tinggal bagaimana pengusaha meresponnya. Seharusnya, dengan adanya deklarasi dari pemerintah bahwa RCEP atau pakta kerja sama lain pembahasannya sudah tahap akhir, pengusaha sudah mempersiapkan diri. Sebab artinya ada kepastian bisnis dari pakta kerja sama itu,”jelasnya.
Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengakui, kesadaran pengusaha dalam memanfaatkan pakta dagang yang tersedia masih cukup rendah. Dia pun mengapresiasi upaya pemerintah yang agresif dalam membuka pakta dagang dan kerja sama ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
“Problematika rendahnya pengetahuan pengusaha dalam memanfaatkan pakta dagang dan kerja sama ekonomi justru menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah juga. Perlu ada upaya blusukan sosialisasi ke pengusaha di berbagai daerah. Kami dari Kadin siap untuk memfasilitasinya,” ujarnya.
Dia menambahkan, kondisi rendahnya respon pengusaha terhadap tersedianya pasar ekspor yang lebih luas dari pakta dagang yang ada menjadi penyakit lama yang dialami dunia usaha. Selama ini, para pelaku usaha lebih banyak fokus terhadap pasar dalam negeri dibandingkan dengan berekspansi di sisi ekspor.
Rendahnya ekspansi usaha dengan melakukan ekspor, menurutnya dialami oleh pelaku usaha di sektor manufaktur. Pasalnya, para pengusaha di sektor tersebut lebih banyak bergantung pada pasar dalam negeri. Alhasil, ekspor justru lebih banyak dilakukan oleh pengusaha di sektor barang mentah.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, selama ini rendahnya pemanfaatan pakta dagang yang tersedia, disebabkan oleh terbatasnya informasi yang diperoleh para pengusaha. Di sisi lain, dia menilai, sektor pembiayaan di Indonesia masih belum ramah bagi aktivitas ekspor produsen Indonesia.
“Mau akses pasarnya terbuka sampai 100%, kalau akses pengusaha di sektor pembiayaan ekspor masih terbatas, pemanfaatannya juga belum tentu maksimal,”tegasnya.
Untuk it dia meminta adanya upaya sinergis antara pemerintah, lembaga pembiayaan ekspor dan pengusaha untuk memanfaatkan pakta dagang yang sudah tersedia dan akan tersedia pada beberapa tahun ke depan.