Bisnis.com, JAKARTA – Sentimen manufaktur di seantero Asia tetap lemah selama Agustus di tengah memanasnya perang perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) untuk Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan dilaporkan tetap berada di wilayah negatif pada Agustus.
Survei yang dirilis Jibun Bank dan IHS Markit menunjukkan PMI Jepang turun menjadi 49,3 dari 49,4 pada Juli, kontraksi bulan ke-8 berturut-turut. Adapun PMI IHS Markit untuk Taiwan turun menjadi 47,9 dari 48,1 pada Juli.
Meski PMI IHS Markit Korea Selatan naik menjadi 49 dari 47,3 pada bulan Juli, angka ini masih di bawah 50 yang menunjukkan kontraksi sekaligus menandakan menyusutnya aktivitas manufaktur.
Ketiga negara manufaktur tersebut menjadi yang paling rentan terhadap ketegangan perdagangan, mendinginnya ledakan teknologi, dan permintaan yang melambat sejalan dengan melemahnya ekonomi global.
Di sisi lain, data PMI China yang dirilis Caixin Media dan IHS Markit mampu mencatat peningkatan menjadi 50,4 dari 49,9 pada Juli. Hal ini menunjukkan kembalinya ekspansi dan level tertinggi sejak Maret.
Kendati demikian, PMI manufaktur resmi Negeri Bambu tetap berkontraksi dengan turun menjadi 49,5, menurut data yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional (NBS) pada Sabtu (31/8/2019), sejalan dengan sub-indeks yang menunjukkan kontraksi pesanan domestik dan pesanan baru di luar negeri.
Gambaran yang lemah juga tampak di Asia Tenggara. PMI Indonesia tergelincir lebih jauh ke dalam kontraksi dan level terendah sejak Juli 2017. Adapun PMI untuk Filipina, Thailand, dan Myanmar berekspansi lebih lambat.
“PMI Agustus menunjukkan pelemahan yang menyebar di seluruh negara-negara Asia. Kemunduran ini meningkatkan tekanan pada pihak-pihak otoritas di Asia untuk meningkatkan dukungan kebijakan,” ujar Ekonom Bloomberg Chang Shu dan Justin Jimenez.
Perkembangan dalam hubungan perdagangan AS-China tetap menjadi pendorong utama sentimennya. Pada Minggu (1/9/2019), pemerintah AS mulai memberlakukan tarif lebih tinggi untuk impor China senilai sekitar US$110 miliar. Langkah ini menyulut tindakan serupa oleh China atas sejumlah barang asal AS.
“Ketidakpastian tinggi atas AS, kebijakan perdagangan China, Brexit, serta perkembangan politik dan geopolitik lainnya terus membebani prospek global," tulis ekonom di Barclays dalam sebuah catatan.
“Aliran pemberitaan menyisakan ruang untuk harapan potensi kesepakatan AS-China ataupun Brexit, tetapi pola perkembangan sejauh ini membuat kita skeptis tentang solusi dalam waktu cepat,” tambahnya.