Bisnis.com, JAKARTA Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah selama 2017 hingga Juli 2019 telah mencapai 38,2 juta ton atau separuh dari total rekomendasi.
Secara rinci, dari rekomendasi ekspor 2017 yang sebesar 24,6 juta ton bijih nikel, realisasinya mencapai 4,9 juta ton. Pada 2018, jumlah rekomendasi ekspor, yakni sebesar 28 juta ton dan terealisasi 20 juta ton. Terakhir, rekomendasi selama semester I/2019 adalah sebesar 23,6 juta ton dengan realisasi mencapai 13,2 juta ton.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan apabila rekomendasi ekspor terus diperpanjang, cadangan terbukti yang sebesar 698,89 juta ton hanya dapat diproduksi kurang dari 10 tahun.
Meskipun demikian, lantaran rekomendasi ekspor yang masih berlangsung sampai 31 Desember 2019, penambang masih diberikan keleluasan untuk menjual bijih nikel kadar rendah ke luar negeri. Dalam waktu empat bulan dari sekarang, penambang nikel diminta untuk menyesuaikan kondisi.
"Masa transisi 4 bulan sampai 31 Desember 2019, tidak langsung stop," katanya, Senin (2/9/2019).
Menurutnya, meskipun diberikan waktu 4 bulan, penambang tidak serta merta dapat menggenjot produksi untuk dijual ke luar negeri. Sejumlah faktor mulai dari kondisi alam, misalnya cuaca dan lingkungan, menjadi faktor yang harus diperhatikan penambang dalam melakukan kegiatan produksi.
"Ekspor kan tidak serta merta anda biasa makan satu piring nasi kemudian diberikan dua piring nasi," katanya.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan apabila pengelolaan bijih nikel tidak diutamakan untuk konsumsi dalam negeri, maka suplai bahan baku smelter akan kurang. Pemerintah pun menilai realisasi ekspor yang di bawah total rekomendasi justru lebih bagus.
"Bagus dong kalau kita kurang ekspor. Kurang dari target lebih bagus, artinya dia eman-eman supaya bisa dikelola dalam negeri," katanya.