Bisnis.com, JAKARTA - Presiden telah membacakan pidato tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 serta Nota Keuangan 2020 di depan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pidato tersebut biasa saja karena hal tersebut rutin dibacakan tiap tahun. Apalagi fokusnya diarahkan pada prioritas sumber daya manusia, infrastruktur, program perlindungan sosial, desentralisasi fiskal, dan reformasi birokrasi.
Kelima prioritas itu seringkali disebut dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam penyampaian pidato kemenangan pemilihan presiden pada 14 Juli 2019.
Imlementasinya diwujudkan dalam ekspansi fiskal dengan defisit anggaran sebesar 1,76% dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp307,2 triliun.
Kebijakan ekspansi fiskal secara berkelanjutan telah dijalankan sejak krisis 1997/1998 kendati sebelumnya dilakukan secara berimbang.
Ekspansi fiskal dilakukan untuk mendorong permintaan agregat agar perekonomian tumbuh lebih optimal melalui penurunan tingkat pajak serta peningkatan belanja negara. Hal itu penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi pengangguran.
Ekonom Inggris J.M. Keynes meyakini, intervensi pemerintah masih dibutuhkan pada saat perekonomian sedang lesu. Kendati saat ini tidak dalam keadaaan lesu, kalangan dunia usaha percaya bahwa perekonomian sedang memburuk.
Kelesuan ekonomi ditandai dengan indeks tendensi bisnis yang cenderung melemah pada kuartal III/2019 (data BPS).
Ekspansi fiskal memang dibutuhkan di tengah situasi ketidakpastian yang makin besar yang disebabkan baik perang dagang maupun tantangan eksternal lainnya. Namun, dalam RAPBN 2020 tampaknya masih setengah hati dijalankan. Setidaknya dilihat dari beberapa indikasi penting.
Pertama, pemerintah mulai mengerem defisit anggaran dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2020, defisit diperkirakan sebesar 1,76%, lebih rendah dibandingkan dengan outlook 2019 sebesar 1,93% dari PDB.
Bahkan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2015 sebesar 2,59% dari PDB, saat awal Pemerintahan Joko Widodo—Jusuf Kalla berjalan. Artinya pemerintah melonggarkan daya dorong belanja terhadap perekonomian sehingga justru akan mengurangi peluang perekonomian domestik lebih berkembang.
Memang tidak mudah mengingat rasio utang terhadap PDB telah tembus di atas 30% dari PDB.
Kedua, ekspansi fiskal yang diharapkan tumbuh melalui belanja pemerintah cenderung salah sasaran. Hal ini dilihat dari belanja modal yang diharapkan tumbuh lebih besar, tetapi justru turun dalam RAPBN 2020.
Belanja modal pemerintah pusat pada RAPBN 2020 hanya 11,2% atau turun dibandingkan dengan outlook 2019 sebesar 11,4%. Bahkan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2015 sebesar 18,2%.
Sebaliknya proporsi belanja pegawai meningkat menjadi 24,9 % pada RAPBN 2020 atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun ini 24,6% atau dibandingkan 2015 sebesar 23,8%. Hal ini artinya belanja modal, seperti pengadaan lahan, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi, serta belanja modal fisik lainnya makin mengecil kendati secara nominal masih meningkat.
Jika belanja modal ini berkurang, stimulus untuk investasi swasta/masyarakat juga berkurang. Misalnya, apabila pembangunan jaringan irigasi pertumbuhannya rendah, luas tanam lahan pertanian masyarakat juga berkurang. Produksi lahan pertanian juga berkurang.
RASIO PAJAK
Ketiga, pemerintah justru meningkatkan rasio pajak (tax ratio) dari sebesar 11,1% pada tahun ini menjadi 11,5% pada RAPBN 2020.
Kendati pemerintah akan memperluas fasilitas keringanan pajak (tax holiday) dan investment allowance serta super deduction tax, pengaruh yang dirasakan baik bagi kalangan dunia usaha masih kecil bagi kalangan dunia usaha maupun penurunan pajak itu sendiri.
Penurunan pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20% yang semula digembar-gemborkan akan diberlakukan pada RAPBN 2020, tetapi nyatanya batal dilakukan. Bahkan, kalau dilihat lebih dalam lagi, pemerintah akan menggenjot kenaikan pajak penghasilan sebesar 13% dan pajak pertambahan nilai sebesar 16%.
Alih-alih mendapatkan keringanan pajak di tengah staganasi perekonomian, tetapi justru akan dikejar-kejar semaksimal mungkin. Ini tentu saja akan melemahkan ekspansi fiskal yang sesungguhnya. Bahkan, kebijakan ini cenderung kontraksi mengingat peningkatan pajak berimplikasi pada meningkatnya beban sektor publik.
Keempat, kendati tidak menggambarkan alokasi sesungguhnya, belanja menurut fungsi juga mencerminkan sejauh mana prioritas-prioritas pembangunan diletakkan.
Data RAPBN 2020 menunjukkan, prioritas untuk fungsi ekonomi menurun menjadi 25,13% dibandingkan dengan outlook 2019 sebesar 25,15%. Bahkan, prioritas fungsi ekonomi turun dibandingkan dengan APBN 2015 sebesar 29,85%.
Indikasi ini menunjukkan bahwa pemerintah memang belum secara berkelanjutan memperhatikan hal ini dalam alokasi anggaran. Padahal, prioritas fungsi ekonomi menjadi petunjuk sejauh mana dukungan kebijakan fiskal bagi pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal setengah hati, dengan ciri khas di atas, dikhawatirkan akan membuat pertumbuhan ekonomi tetap stagnan dalam kisaran 5% saja. Ndari et. al (2012) melakukan penelitian untuk Indonesia bahwa shock kenaikan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB, sedangkan shock kenaikan pajak berdampak negatif terhadap PDB.
Dampak positif dari pengeluaran pemerintah dan dampak negatif dari pajak terhadap PDB tersebut sejalan dengan teori Keynes tentang peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian serta sesuai dengan penelitian empiris di beberapa negara maju.
Jika dua kebijakan di atas dijalankan pada RAPBN 2020, satu sama lain akan saling meniadakan untuk pertumbuhan ekonomi. Otomatis, fungsi anggaran pemerintah akan sia-sia manakala pajak juga turut digenjot pada saat yang bersamaan.
Apalagi kalau anggaran pemerintah tersebut banyak yang tidak tepat sasaran dan salah arah. Mengantipasi situasi di atas, apalagi sebagai langkah antisipasi ketidakpastian global, pemerintah sebaiknya menyiapkan langkah cadangan agar kebijakan fiskal tidak setengah hati.
Hal itu bisa dimulai dengan perencanaan perubahan skenario belanja yang lebih efektif untuk belanja produktif.
Selain melakukan optimalisasi dengan cara-cara di atas, peluang untuk menambah defisit anggaran bisa dibuka sepanjang masih tetap dalam batas aman. Sambil melihat seberapa jauh ekonomi kita tetap bertahan. Semoga.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (19/8/2019).