Bisnis.com, JAKARTA — Produsen biodiesel Indonesia akan menghentikan ekspor produknya ke Uni Eropa (UE), lantaran adanya pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) atas produk tersebut per kemarin, 14 Agustus 2019.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, para eksportir akan menghitung dampak besaran BMAS terhadap harga jual fame yang diekspor ke UE.
Menurutnya, apabila besaran bea masuk tersebut membuat harga fame Indonesia menjadi lebih mahal atau mendekati harga produk biodiesel lain di pasar UE, maka para eksportir akan menyetop ekspornya ke kawasan tersebut.
“Tiap perusahaan BMAS-nya berbeda-beda. Kita akan lihat, kalau harganya tidak sesuai, ya setop saja ekspornya ke UE. Kita bisa mencari pasar lain untuk tetap menjaga kontribusi kita terhadap devisa ekspor. Inti kebijakan ini kan mereka ingin setop impor sawit kita,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Dia melanjutkan, harga produk biodiesel dari sawit lebih murah dibandingkan dengan produk serupa dari minyak nabati lain. Namun, dengan adanya kebijakan bea masuk tersebut, selisih harga antara fame sawit Indonesia dengan minyak nabati lain menjadi menipis.
Kondisi itu, menurutnya, akan membuat importir dari UE akan memilih menggunakan biodiesel dari produk nabati yang diproduksi domestik. Terlebih, para petani produk minyak nabati lain seperti biji bunga matahari dan biji rapa terus mendesak agar menghentikan penggunaan minyak nabati dari sawit.
Penyetopan ekspor biodiesel oleh RI ke negara lain, lanjutnya, sempat dilakukan saat AS menetapkan bea masuk antidumping (BMAD) untuk produk tersebut sebesar 276% pada Februari 2018.
Menurutnya, kebijakan BMAS dari UE tersebut berpotensi membuat target ekspor biodiesel RI ke kawasan tersebut meleset dari target pada tahun ini.
Dia mengatakan, sebelum adanya kebijakan BMAS UE tersebut ekspor RI ke UE ditargetkan mencapai 1 juta ton, naik dari capaian tahun lalu yang menembus 700.000 ton.
Berdasarkan data Parlemen Uni Eropa, penggunaan biodiesel dari sawit asal Indonesia di UE mencapai 40% dari total kebutuhan kawasan tersebut.
Indonesia, lanjutnya, memasok kebutuhan kawasan tersebut masing-masing 50% dalam bentuk fame dan 50% lainnya dalam bentuk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang kemudian diolah oleh produsen di UE untuk menjadi fame.
Kendati demikian, dia mengatakan, para eksportir biodiesel RI akan bekerja sama dengan pemerintah untuk menyiapkan sanggahan atas tuduhan praktik subsidi atas biodiesel Indonesia.
Menurutnya, Indonesia masih memiliki waktu 15 hari sejak BMAS sementara biodiesel diterapkan pada 14 Agustus 2019.
“Kami baru saja mendapatkan dokumen dari UE mengenai kebijakan itu. Bersama pemerintah kami akan siapkan sanggahan sekaligus pertanyaan mengapa penerapan BMAS sementara, dipercepat dari jadwal awalnya yakni 6 September 2019,” tegasnya.
Paulus menambahkan, guna mengantisipasi langkah UE dan dihentikannya ekspor ke negara itu, para eksportir akan mengalihkan pengirimannya ke negara lain. China dalam hal ini disasar sebagai negara potensial, lantaran pasar di negara tersebut sedang tumbuh.
Selain itu, para produsen juga akan memaksimalkan penyerapan di dalam negeri melalui kebijakan biodiesel 30% (B30). Dia memperkirakan, apabila kebijakan itu berjalan, maka 9 juta ton produksi biodiesel RI akan terserap oleh pasar domestik.