Bisnis.com, JAKARTA -- Defisit neraca pembayangan pada kuartal II/2019 masih membayangi dan memberi imbas pelebaran defisit transaksi berjalan.
Josua Pardede, ekonom Bank Permata ini menyatakan pusat perhatian dari pengumuman Neraca Pembayaran Indonesia pada Jumat (9/8/2019), adalah defisit transaksi berjalannya. Defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
"Ini jadi tolak ukur perkembangan eksternal suatu negara dan itu concern kenapa Bank Indonesia cukup agresif boleh dikatakan menaikkan suku bunga acuan sampai 175 basis poin tahun lalu," terang Josua kepada Bisnis.com, Kamis (8/8/2019).
Dia menyatakan bahwa perkembangan dari defisit transaksi berjalan pada kuartal I agak cukup menurun.
Tren dari kuartal IV juga hampir 3% terhadap PDB, sedangkan pada kuartal I tahun ini menurun hingga 2,6%.
"Tetapi kalau kita lihat kinerja neraca transaksi berjalan diperkirakan akan kembali melebar defisitnya. Kisarannya US$8,29 miliar. Atau kalau mau dihitung terhadap PDB ada defisit 2,98%," jelasnya.
Josua menyebut ada indikasi dari sisi surplus dari neraca nonmigas menyusut tetapi pada sisi lain defisit dari neraca migasnya itu meningkat.
"Kalau kita lihat sepanjang kuartal II. Itu juga terindikasi defisitnya cukup besar," kata Josua.
Josua menjelaskan kondisi neraca perdagangan pada April lalu meski agak membaik pada Mei dan Juni tetapi pada April defisit hampir US$2 miliar.
Dia pun memprediksi sisi defisit bersumber dari neraca migas yang membengkak akibat tingginya permintaan jelang Lebaran. Dia menyebut umumnya suplai minyak pasca-Lebaran juga masih akan berlanjut satu sampai 2 bulan.
"Meskipun harga minyak trennya menurun tapi permintaan di kuartal II meningkat untuk antisipasi suplai jelang Lebaran," jelas Josua.