Bisnis.com,JAKARTA – Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan untuk mendukung Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang moratorium izin baru perkebunan kelapa sawit, yang selama ini dianggap multi interpretasi.
Adanya peraturan teknis pelaksanaan diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi para pelaku industri kelapa sawit nasional.
Praktisi hukum perkebunan dari Dentons HPRP Maurice Situmorang menilai bahwa moratorium sawit yang ditetapkan pemerintah, selain memfasilitasi survei produksi sawit nasional, juga dalam rangka merangkul keinginan Uni Eropa untuk memastikan bahwa produksi sawit dalam negeri sustainable.
Namun ia menekankan bahwa instruksi presiden ini tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan teknis yang memadai, hingga menyebabkan ketidakpastian di antara para pelaku industri.
“Peraturan ini juga dapat menjadi amunisi pemerintah melawan langkah Uni Eropa yang berusaha membatasi impor minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan menerapkan cukai cukup besar kepada para eksportir minyak sawit dari Indonesia dengan menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tegas dalam upaya menjadikan industri perkebunan sebagai industri yang sustainable dan tetap dalam komitmennya menjaga kelestarian dan keberagaman hutan Indonesia,” katanya, Kamis (8/8/2019).
Menurutnya, petunjuk pelaksanaan yang jelas bagi pelaku Industri dapat menunjukkan kepada Uni Eropa bahwa produksi sawit Indonesia adalah berkelanjutan.
Baca Juga
“Memang dari segi volume pasar Eropa tidak sebesar pasar China atau India, namun jika kita berbicara mengenai market, kita tidak hanya mau menjual produk ke India dan China saja. Kita mau hasil produksi kelapa sawit Indonesia dapat dipasarkan ke seluruh negara tanpa ada perbedaan atau diskriminasi ” katanya.
Pemerintah Indonesia pada saat ini tengah berupaya menuntut Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) atas tindakannya merancang kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019. Kebijakan ini mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai produk yang tidak berkelanjutan dan memiliki resiko tinggi.
Kebijakan ini berpotensi menghambat masuknya CPO dari Indonesia ke Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) terhadap impor biodiesel dari Indonesia terkait dugaan subsidi pada produk sawit. Besarannya berkisar antara 8-18 persen dan dijadwalkan mulai berlaku 6 September 2019.
“Saya tidak setuju dengan tuduhan Uni Eropa itu. Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit salah satunya berasal dari pungutan pemerintah ke para pengusaha sawit yang melakukan kegiatan ekspor. Pungutan itu kemudian dikelola dalam suatu wadah yang bertujuan untuk mengembangkan industri sawit nasional, sehingga menjadi salah kaprah kalau itu disebut atau dikategorikan sebagai bentuk subsidi, seperti yang dituduhkan,” jelas Maurice.
Ia menambahkan bahwa memang WTO adalah badan yang tepat untuk menyampaikan keberatan pemerintah Indonesia ini, apalagi karena kita pernah menang melawan Uni Eropa di WTO pada tahun 2013–2015 saat Uni Eropa menerapkan bea tambahan terhadap bio diesel. Namun ia juga meminta pemerintah agar melakukan pendekatan lain kepada Uni Eropa.
“Mungkin harus dilakukan pendekatan politik dengan penekanan bahwa dalam kegiatan perdagangan internasional jangan sampai ada salah satu pihak merasa superior dari yang lain. Jadi rasa saling membutuhkan antara suatu negara dengan negara lain bisa lebih dikedepankan. Mereka ekspor ke kita, dan kita ekspor ke mereka. Masing-masing ada yang ditawarkan, termasuk mereka juga membutuhkan CPO dari kita," pungkasnya.