Pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo erat kaitannya dengan pembentukan holding BUMN. Subsektor minyak dan gas bumi (migas) salah satunya, dengan menetapkan PT Pertamina (Persero) sebagai induk holding migas BUMN.
Peraturan Pemerintah No. 6/2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina menjadi landasan hukum pembentukan holding migas BUMN.
Dalam beleid yang ditetapkan dan diundangkan pada 28 Februari 2018 tersebut, seluruh saham seri B milik negara di PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) sebanyak 13,8 miliar lembar dialihkan ke Pertamina. Meskipun begitu, negara masih melakukan kontrol atas PGN melalui kepemilikan saham seri A dwi warna.
Penggabungan PGN ke Pertamina menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan sinergi dan integrasi kedua perusahaan pelat merah ini. Secara garis besar, Pertamina dan PGN punya lini bisnis berbeda, meski ada juga yang masih memiliki kesamaan. Misalnya, bisnis distribusi gas dan produksi migas.
Melihat empat tahun ke belakang, warna kinerja kedua perusahaan pun berbeda dengan penugasan yang berbeda pula. Program penugasan dari pemerintah juga relatif lebih banyak ditujukan kepada Pertamina, seperti distribusi bahan bakar minyak.
Atas penugasan tersebut, secara tidak langsung memengaruhi kinerja sektor hilir Pertamina. Setidaknya 70 persen pendapatan Pertamina datang dari penjualan BBM. Sayangnya, kontribusi laba malah lebih banyak datang dari sektor hulu.
Baca Juga
Ditambah lagi, mandat Pertamina untuk mengelola lapangan migas terminasi jadi tugas yang tidak enteng. Bayangkan, Pertamina harus mengelola aset migas “jompo” untuk terus dimanfaatkan. Dengan beban besar di sektor hulu, rasa-rasanya tidak cukup hanya menempatkan satu direktorat saja untuk mengurusi lini usaha ini.
Sementara PGN, belakangan mendapatkan penugasan untuk mengawal program Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas). Rencana membangun 4,7 juta sambungan rumah tangga (SR) hingga 2024 menjadi obsesi pemerintah yang harus dijalankan PGN.
Program yang sudah digulirkan sejak 2009 dan kembali didorong di era Jokowi telah terpasang 325.852 SR yang meliputi 16 Provinsi dan 40 kabupaten/kota.
Untuk 2020, Pemerintah akan membangun sebanyak 293.533 SR di 54 kabupaten/kota. Jumlah ini sangat besar dibandingkan dengan jumlah SR yang berhasil dibangun selama 2009 hingga 2018 yaitu sebanyak 325.852 SR di 16 provinsi meliputi 40 kabupaten/kota.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kendati public service obligation (PSO) yang dijalankan PGN lebih sedikit ketimbang Pertamina, progres pembangunan jaringan distribusi pipa dapat dianggap menjadi capaian khusus.
“Pembangunan pipa distribusi, plus jaringan gas, terlihat penambahan signifikan 5 tahun terakhir,” katanya.
Selain itu, terkait penjualan gas ke industri terus bertumbuh, meski isu harga has masih menjadi perdebatan. Peran distributor gas pipa pun semakin berkembang setelah PGN mengakuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas) pada tahun lalu.
Hanya saja, masih ditemui perbedaan pungutan distribusi melalui pipa gas. “PGN ke depan harus mencari pasar-pasar industri yang berkembang agar produksi gas kita diutamakan dulu untuk kepentingan domestik,” ujarnya.
Bagi Pertamina, pekerjaan utama lima tahun terakhir adalah mengambil alih blok migas legendaris di Tanah Air, seperti Blok Mahakam pada 2018 dan Blok Rokan pada 2021. Untuk sektor midstream, harus diakui program pengembangan kilang masih jalan di tempat.
Selain itu, untuk sektor hilir, terpangkasnya subsidi Premium dan lahirnya Pertalite menjadi catatan kinerja Pertamina.
Bicara kinerja keuangan, baik Pertamina ataupun PGN sama-sama mengalami naik-turun capaian laba usaha. Misalnya saja pada 2015, Pertamina meraup laba senilai US$1,42 miliar, sementara PGN meraup US$402,7 juta. Selanjutnya, Pertamina mencatatkan pertumbuhan laba pada 2016, lalu kembali turun pada laba kinerja 2017 dan 2018.
Berbeda dengan PGN, yang labanya tercatat menurun pada 2016 dan 2017 dibandingkan kinerja 2015. Laba usaha PGN, kembali melompat pada 2018 dengan capaian US$364,63 juta.
Soal gonta-ganti direksi juga jadi sorotan kedua perusahaan migas nasional ini. Bongkar pasang pucuk pimpinan kedua perusahaan pun sama, tiga kali ganti direktur utama.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, PGN dinahkodai oleh Hendi Prio Santoso, Jobi Triananda Hasjim, dan Gigih Prakoso. Sementara itu, tiga nama direktur utama Pertamina, yakni Dwi Soetjipto, Elia Massa Manik, dan Nicke Widyawati.
Ke depan, tantangan meningkatkan kinerja menjadi tuntutan Pertamina dan PGN. Tugas berat Pertamina untuk mengelola lapangan migas yang sudah uzur wajib menjadi perhatian khusus, setidaknya dengan prioritas belanja modal untuk sektor hulu.
Tantangan tersebut juga berada di pundak PGN yang memiliki anak usaha PT Saka Energi. Mau tidak mau, PGN harus konsisten memberikan belanja modal terbesar untuk sektor hulu, kecuali PGN melego Saka sehingga tidak lagi membebani keuangan emiten dengan kode PGAS ini.
Selanjutnya, dengan menjadi holding dan subholding Migas BUMN, apakah kinerja ke depan akan moncer?