Pengelolaan sektor migas di bawah kepemimpan Presiden Joko Widodo terkesan “wah” dan mencatatkan banyak capaian. Misalnya, soal penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) premium, pembubaran Petral ataupun alih kelola blok migas legendaris ke Pertamina. Sayangnya, Jokowi yang gemar blusukan dan jurus yang selama ini manjur untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, belum mampu mencari panasea untuk sektor strategis ini.
Meskipun demikin, terlebih dahulu kita akan mulai melihat gebrakan mantan Walikota Solo ini, dalam lima tahun belakangan.
Sejak memastikan diri menjadi pemenang dalam Pemilihan Presiden 2014, Jokowi sudah menebar rencana perbaikan tata kelola sektor migas. Salah satunya dengan menggaungkan rencana pemangkasan subdisi bahan bakar minyak (BBM).
Setelah dilantik pada 20 Oktober 2014, Jokowi pun menepati untuk berani melakukan kebijakan non-populer, yakni menghapus subsidi BBM premium pada 2015.
Terhitung sejak 1 Januari 2015, Presiden Jokowi mencabut subsidi premium, sementara solar diberikan subsidi senilai Rp1.000 per liter. Melalui kebijakan tersebut, munculah harapan adanya perbaikan tata kelola migas yang menyeluruh, dari hulu ke hilir.
Bagaimana tidak, penghapusan subsisi premium memangkas subsidi BBM pemerintah sekitar Rp200 triliun pada 2015. Alokasi anggaran itu pun dialihkan untuk pembangunan yang lebih produktif, seperti infrastruktur.
Gebrakan Jokowi tidak sampai di situ, pada 13 Mei 2015, pemerintah membubarkan PT Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral yang selama ini memainkan peran strategis sebagai 'broker' jual beli minyak mentah.
Pembubaran Petral bukan perkara mudah dan muncul dari mimpi semalam. Saat itu, rekomendasi pembubaran Petral datang dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Tim yang diketuai Faisal Basri itu pun telah mengeluarkan 12 rekomendasi untuk pemerintah guna memperbaiki tata kelola migas nasional.
Dengan dua kebijakan tersebut, rezim Jokowi terlihat sudah fokus membenahi sektor hilir migas. Pada 2015, Jokowi mulai melakukan keputusan besar di sisi hulu migas, dengan tidak memperpanjang kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation di Blok Mahakam yang selesai pada 2017.
Melalui Surat Nomor 2793/13/MEM.M/2015 yang diterbitkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, memutuskan Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja Mahakam dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Total dan Inpex dengan operator total tidak diperpanjang dan Pertamina ditunjuk sebagai pengelola Wilayah Kerja Mahakam pasca berakhirnya Kontrak Kerja Sama tersebut.
Blok Mahakam punya nama besar, sebagai sumber produksi migas nasional. Selain Blok Mahakam, Pertamina juga dipercaya untuk mengelola Blok Rokan, yang selama ini dikelola oleh PT Chevron Pasific Indonesia.
Pada 31 Juli 2018, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengumumkan bahwa proposal yang disodorkan Pertamina, lebih menarik dibandingkan dengan operator eksis.
Blok Rokan yang memiliki luas wilayah 6.264 km2. Pada 2016 lalu masih mampu menghasilkan minyak hingga 256.000 barel per hari (bph), hampir sepertiga dari total produksi minyak nasional saat itu. Chevron sudah memegang kontrak Blok Rokan sejak 1971 atau 50 tahun lalu.
Beres-beres sektor hulu, juga terlihat dari penetapan kontrak bagi hasil dalam kegiatan hulu migas. Jika sebelumnya menggunakan skema Cost Recovery, maka sejak 13 Januari 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Kontrak bagi hasil gross split adalah suatu kontrak bagi hasil dalam kegiatan usaha hulu migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Sistem gross split memiliki tiga prinsip utama yaitu certainty, simplicity dan efficiency. Hingga Februari 2019, setidaknya sudah ada 40 Blok Migas yang menggunakan skema kontrak bagi hasil kotor ini.
Sayangnya, dari capaian-capaian tersebut, Jokowi belum menyentuh akar masalah utama dari sektor migas. Setidaknya jika merujuk fakta, bahwa Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2002.
Harus disadari pertumbuhan konsumsi energi berbasis fosil terus meningkat. Di sisi lain, produksi minyak nasional mengalami penyusutan sekitar 3% - 5% per tahun. Penemuan sumber migas skala besar sekaliber Blok Rokan, belum terdengar lagi.
Dari sisi kebijakan, payung hukum utama sektor migas yakni Revisi Undang Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi belum terjamah.
Dua isu strategis terakhir di atas, sepertinya harus menjadi daftar utama untuk segera dicarikan solusinya.
Maukah Pak Jokowi beserta pembantunya blusukan lebih dalam di sektor migas ke depan? Untuk kesempatan kedua, selama lima tahun mendatang?