Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral percaya diri bahwa skema kontrak bagi hasil kotor (gross split) lebih menarik dibandingkan dengan skema penggantian biaya operasi (cost recovery), khususnya setelah lelang Wilayah Kerja Migas Konvensional Tahap I 2017 diminati investor.
Saat itu, dari tujuh wilayah kerja migas konvensional yang ditawarkan, pemerintah menetapkan lima pemenang lelang dengan menggunakan skema gross split. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pun berbesar hati melihat capaian hasil lelang blok migas perdana menggunakan kontrak bagi hasil tersebut.
"Jadi, kalau dikatakan blok migas dengan skema gross split kurang diminati investor, buktinya hari ini, alhamdulillah lima blok dari tujuh blok diambil," ujarnya dalam jumpa pers penutupan lelang blok migas di Kementerian ESDM, Jumat (29/12/2017).
Hampir dua tahun berselang, hingga Juni 2019, sebanyak 42 kontrak kerja sama migas telah menggunakan skema gross split. Lima di antara kontrak tersebut merupakan amandemen dari cost recovery menjadi gross split.
Selain itu, beberapa perusahaan migas lainnya juga sedang dalam proses untuk berubah dari cost recovery ke gross split.
Di antara kontrak-kontrak yang telah menggunakan skema gross split, salah satu yang dimaknai spesial oleh pemerintah adalah penandatanganan kontrak Blok Rokan oleh PT Pertamina (Persero).
Adapun gross split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang diperhitungkan di muka. Melalui skema kontrak tersebut, negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sehingga penerimaan Negara menjadi lebih pasti.
Selain itu, pemerintah beranggapan dengan menggunakan gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Berbeda seperti skema cost recovery yang biaya operasi pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah.
Dengan begitu, kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab kontraktor. Semakin efisien kontraktor maka keuntungannya semakin baik.
Sayangnya, rezim kontrak migas dengan skema bagi hasil kotor dianggap tidak terlalu mendapat perhatian investor. Begitulah hasil laporan Wood Mackenzie, lembaga konsultan energi global, pada Januari 2019.
Sebelumnya, Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara dengan investasi yang paling tidak menarik, khususnya di sektor minyak dan gas. Hasil survei tersebut datang dari Fraser Institute yang dilakukan terhadap 256 responden di industri perminyakan mengenai hambatan investasi dalam eksplorasi serta fasilitas produksi minyak dan gas di berbagai negara.
Dalam laporan tersebut, 10 negara dengan atmosfer investasi migas terburuk yaitu Venezuela, Yaman, Tasmania, Victoria, Libya, Irak, Ekuador, New South Wales, Bolivia, dan Indonesia.
Melihat situasi yang ada, ditambah dengan wacana dan harapan besar pemerintah, suara minor akan perdebatan membandingkan cost recovery dengan gross split kian muncul ke permukaan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan sebenarnya tidak ada masalah antara skema biaya pengganti operasi dan bagi hasil kotor.
Dia menjelaskan rezim cost recovery identik dengan adanya jaminan kepastian dari pemerintah kepada investor atas penggantian biaya operasi. Skema kontrak ini lebih cocok untuk negara dengan ketidakpastian yang tinggi serta iklim investasi yang belum kondusif.
Menurutnya, gross split lebih cocok untuk negara dengan kepastian yang tinggi serta atmosfer investasi yang baik. Dengan penghitungan split di depan, investor tidak akan tertarik apabila pemerintah mengambil bagian terlalu besar.
“Jadi, bagi investor, mereka tidak peduli sebenarnya. Yang penting itu adalah kepastian hukum, iklim investasi kondusif, dan benefit dirasakan yang terukur karena ini kan investasi padat modal dengan risiko yang tinggi,” katanya, kepada Bisnis.com.
Melihat kondisi ketidakpastian yang tinggi, lanjut Yustinus, wajar investor menginginkan banyaknya insentif. Namun, yang jadi pertanyaan, dengan menggunakan skema yang ada saat ini, bagaimana caranya memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan?
Pemerintah memang perlu berbenah, terutama terkait sinkronisasi kebijakan. Misalnya, peluang diberikannya tax holiday bagi investasi hulu migas. Yustinus menjelaskan dalam terminologi Kementerian Keuangan, penerima insentif tersebut wajib berwujud badan hukum Indonesia.
“Lucunya, di Undang Undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas, kontraktor hulu migas itu badan usaha tetap [BUT]. Jadi, melihat hal itu, ada yang tidak sinkron antara aturan migas dan fiskal. Nah, ini urusan pemerintah,” tambahnya.
Anggota Indonesia Petroleum Association (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan untuk memastikan skema gross split berjalan lebih baik, pemerintah perlu juga menyelaraskan aturan untuk mendukung rezim kontrak migas tersebut.
Jika dalam skema cost recovery aturan yang disusun mengarah pada bentuk perizinan, dalam gross split sebaiknya diarahkan pada tingkat compliance investor.
“Kalau begitu kan biaya operasi yang tinggi dalam perizinan bisa dipangkas dan mendukung semangat efisiensi,” katanya.
Penerapan dua rezim kontrak bagi hasil ini terus menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah beranggapan membengkaknya dana penggantian operasi sebagai pemborosan. Di sisi lain, investor memerlukan jaminan untuk investasi padat modal dengan risiko tinggi.
Lalu, setelah pemerintah berkomitmen menghadirkan rezim kontrak bagi hasil yang lebih baik, apakah diikuti kesungguhan untuk memperkuat kebijakan turunan yang mampu menarik investasi investor global?