Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peringatan untuk Bank Sentral Global, Awas Ancaman Perang Mata Uang!

Langkah China membiarkan nilai tukar yuan melemah ke level terendah dalam lebih dari satu dekade berikut label manipulator mata uang yang didapatnya dari pemerintah Amerika Serikat (AS) membuka ancaman terjadinya perang mata uang.
Karyawan menghitung pecahan uang dolar Amerika di Jakarta./Antara
Karyawan menghitung pecahan uang dolar Amerika di Jakarta./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah China membiarkan nilai tukar yuan melemah ke level terendah dalam lebih dari satu dekade berikut label manipulator mata uang yang didapatnya dari pemerintah Amerika Serikat (AS) membuka ancaman terjadinya perang mata uang.

Nilai tukar yuan melemah hingga melampaui level 7 yuan per dolar AS setelah Bank Sentral China, People’s Bank of China (PBoC) menetapkan nilai referensi harian lebih rendah dari 6,9 untuk pertama kalinya sejak Desember pada Senin (5/8/2019).

Mata uang China tersebut, untuk pertama kalinya sejak 2008, menembus level 7. Sebagian investor melihat pergerakan dalam yuan itu sebagai respons langsung pemerintah China atas rencana tarif terbaru dari AS.

Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana pengenaan tarif 10 persen terhadap sisa impor senilai US$300 miliar asal China. Langkah ini dinyatakan akan mulai diberlakukan pada 1 September.

Menanggapi pelemahan yuan, dalam akun Twitter miliknya pada Senin (5/8), Trump mencirikan langkah itu sebagai "manipulasi mata uang" dan mengindikasikan keinginannya agar bank sentral AS Federal Reserve aksi China.

Dalam sebuah pernyataan pada hari yang sama, Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menghilangkan keunggulan kompetitif tidak adil yang diciptakan oleh tindakan terbaru China.

Jika pemerintah China membiarkan nilai tukar yuan untuk terus jatuh jauh di atas level 7 per dolar, ini akan menjadi sinyal jelas yang telah diberikannya untuk mengimbangi tindakan Trump.

Pelemahan yuan dan dampaknya terhadap mata uang negara berkembang lain juga bakal memusingkan Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral Eropa. Penguatan nilai tukar yen atau euro akan menambah beban perekonomian Jepang dan Eropa yang sudah mengalami kelesuan.

Bahkan sebelum ketegangan antara AS dan China membara, bank-bank sentral di seluruh dunia sudah mengambil sikap kebijakan moneter yang dovish.

“Perang perdagangan AS-China saat ini sedang menyiapkan panggung untuk perang mata uang yang bisa memengaruhi banyak bank sentral utama di seluruh dunia,” ujar Eswar Prasad, mantan kepala divisi China di IMF yang juga adalah penulis "Gaining Currency: The Rise of Renminbi”.

Bank-bank sentral emerging market telah menangkap permasalahan ini pada Senin (5/8/2019) ketika rata-rata mata uang di Asia merosot dan nilai tukar won Korea Selatan mencapai level terendahnya tiga tahun.

Gejolak pada pasar keuangan global diperkirakan akan berlanjut pada hari ini, Selasa (6/8/2019), serta akan menyulitkan rencana negara-negara berekonomi lebih kecil untuk mendukung pertumbuhan dengan suku bunga yang lebih rendah.

“Pergerakan yuan di atas level 7 adalah sesuatu yang belum dipetakan untuk pasar dan bank sentral di seluruh dunia,” tutur Hui Feng, peneliti senior di Griffith Asia Institute yang pernah menuliskan “The Rise of the People's Bank of China”.

Meski PBoC berjanji untuk menjaga nilai tukar mata uangnya tetap stabil dan sejumlah ekonom mengatakan bahwa pergerakan yuan melampaui 7 tidak bisa dihindari karena tekanan pada ekonomi China, prospeknya tetap rapuh.

“[Pelemahan] yuan menembus level 7 terhadap dolar AS menandakan bahwa tidak ada garis batas bagi People's Bank of China dalam mengelola mata uangnya, meskipun kemungkinan akan mencoba untuk memperlancar volatilitas nilai tukar,” ujar ekonom Bloomberg David Qu.

Trump diketahui telah berulang kali mengkritik penanganan mata uang China. Pada Jumat (2/8), Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan pemerintah AS tidak akan melakukan intervensi dalam dolar. Namun sepekan sebelumnya, Trump mengindikasikan yang sebaliknya.

Perlambatan pertumbuhan dan meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China telah memaksa bank-bank sentral di dunia untuk menurunkan suku bunganya tahun ini, terlepas dari keraguan atas efeknya dalam memerangi pukulan perang dagang terhadap kepercayaan bisnis dan rencana ekspansi perusahaan.

“Jika pemerintah AS benar-benar berupaya untuk melemahkan dolar AS, ini akan menjadi berita buruk bagi para pembuat kebijakan ekonomi di Eropa dan Jepang. Di kedua wilayah ini, apresiasi mata uang akan sangat tidak diinginkan pada saat pertumbuhannya sudah goyah,” terang Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di Oxford Economics, Hong Kong.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper