Bisnis.com, JAKARTA -- Indonesia dinilai tak perlu mengalihkan fokus ekspor komoditas perkebunan dari kelapa sawit atau karet ke tanaman lain meskipun komoditas tersebut tengah diterpa tren harga global yang negatif.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan Indonesia masih menikmati keunggulan komparatif sebagai salah satu produsen minyak sawit atau CPO terbesar di dunia.
Terkait penurunan harga yang berpengaruh signifikan terhadap nilai total ekspor perkebunan, Esther menyebutkan peningkatan konsumsi dalam negeri dengan mengedepankan nilai tambah (added value) tetap menjadi pilihan terbaik. Menurutnya, hal tersebut berlaku pula bagi komoditas perkebunan lain yang memiliki potensi.
"Sebenarnya tidak perlu beralih. Kita termasuk produsen CPO terbesar di dunia, jadi punya keunggulan komparatif. Untuk komoditas lain perlu didorong seperti kakao, kopi, tebu ke arah peningkatan kualitas dan kuantitas produksi. Syukur-syukur kalau komoditas ini bisa diekspor dalam bentuk olahan sehingga punya added value," kata Esther saat dihubungi Bisnis, Selasa (16/7).
Mengekspor komoditas perkebunan dalam bentuk olahan pun, kata Esther, bukan perkara mudah. Hal ini tak lepas dari kecenderungan negara importir yang memiliki preferensi sendiri dalam mengolah produk mentah.
Dia memberi contoh pada negara-negara Eropa yang mengimpor kopi dan kakao dari Indonesia, namun lebih memilih mengolah sendiri ketimbang mengimpor produk setengah jadi.
Baca Juga
"Importir atau pembeli luar negeri itu tidak mau beli kopi dalam bentuk roasted bean atau kopi bubuk. Mereka ingin dalam bentuk green bean dan bersertifikat. Kenapa? Mereka mau olah sendiri dengan standar sendiri dan formula sendiri karena ini disesuaikan dengan selera pasar mereka," sambungnya.