Bisnis.com, JAKARTA--Rendahnya serapan karet dalam negeri membuat volume ekspor masih mengalir deras di tengah harga yang masih berkutat di level bawah.
Dengan luas area mencapai 3,67 juta hektare (ha) dan produksi sebanyak 3,63 juta ton pada 2018 lalu, Indonesia menjadi produsen karet nomor dua terbesar setelah Thailand yang rata-rata memproduksi 4,5 juta ton karet alam setiap tahun.
Namun, serapan karet dalam negeri cenderung masih rendah. Data dari Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menunjukkan konsumsi karet domestik dalam 5 tahun terakhir masih berada di bawah 20%.
Sementara itu, sekitar 80% produksi nasional diserap oleh pasar internasional dengan nilai ekspor mencapai US$5,58 miliar pada 2017.
Dalam prediksi Bank Dunia untuk 2019, harga karet diperkirakan masih bakal stabil di level rendah sebagai imbas dari sejumlah faktor. Salah satu yang paling utama adalah stok yang diperkirakan bakal melimpah karena melambatnya konsumsi industri ban kendaraan yang menyerap 2/3 dari total produksi global.
Sempat menyentuh harga terendah dalam 30 bulan pada kuartal IV/ 2018 di angka US$1,21/kg, Indonesia bersama negara produsen karet alam lainnya yakni Thailand dan Malaysia memutuskan untuk memangkas ekspor sebesar 240.000 ton sebagai usaha untuk mengerek harga karet di pasar global.
Adapun dalam Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 779 tahun 2019 tentang Pelaksanaan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) ke-6, ekspor karet alam Indonesia dikurangi sampai 98.160 ton selama 4 bulan mulai 1 April sampai 31 Juli 2019. Dengan pengurangan tersebut, total volume ekspor karet Indonesia selama periode yang diatur bakal berada di angka 941.791 ton.
“Harga karet dari awal tahun sampai Mei cenderung steady dan meningkat cukup baik karena langkah yang dilakukan ITRC [International Tripartite Rubber Council] dengan mengurangi ekspor. Sebelumnya, terdapat kabar bahwa stok di dunia itu berlebihan, tapi menurut perkiraan tiga negara tidak demikian. Oleh karena itu, dilakukan pengurangan ekspor dan reaksinya adalah harganya meningkat,” kata Ketua Umum Gapkindo Moenardji Soedargo ketika dihubungi Bisnis, baru-baru ini.
Meski harga berangsur membaik dibanding akhir 2018 lalu, Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane memperkirakan produksi karet dalam negeri tetap terkoreksi.
Dia mengungkapkan banyak petani karet di dalam negeri yang tak bergairah mengolah lahannya karena harga masih tak sesuai harapan. Hal ini ditambah faktor permintaan dari China yang cenderung terkoreksi, sehingga penurunan suplai pun diperkirakan tak banyak menggenjot harga.
“Kalau masih dipengaruhi perang dagang, agak sulit untuk mendorong harga karet karena sektor manufaktur China merosot sampai 3%. Jadi, permintaan pun pasti tak seperti harapan. Meskipun suplai turun, harga mungkin tak naik signifikan,” kata Azis.
Menurutnya, perlu ada peningkatan serapan karet yang signifikan dari dalam negeri. Dia mengapresiasi langkah pemerintah yang mengkampanyekan penggunaan karet sebagai bahan campuran aspal, tetapi dia menilai itu belum cukup jika melihat potensi yang ada.
“Kita jangan terlampau bergantung pada ekspor. Kenapa tidak manfaatkan dalam negeri dan barang jadinya kita ekspor? Pemerintah sudah membuat aspal karet, tapi masih dalam instruksi Presiden,” sambung Azis.
Dia menjelaskan bahwa karet bisa pula dimanfaatkan untuk infrastruktur. “Contohnya, pemanfaatan rubber block untuk jalanan dan dock fender di pelabuhan. Sekarang banyak dock fender di pelabuhan Cirebon dan Semarang itu di bawah kapasitas, padahal membutuhkan banyak karet,” tuturnya.